Ch.17: Jangan Berhenti Melangkah

8.5K 1.5K 84
                                    

Sorry for typo(s)




Mobil milik Haechan berhenti tepat di depan gerbang sekolah pemuda Na, masih ada waktu tigapuluh menit sebelum kelas dimulai sehingga pemuda berpipi gembil itu menahan Jaemin sejenak di sana. Beberapa lembar foto kenangan semasa sekolah dasar masih disimpan baik-baik olehnya.



"Ini foto terakhir kita sebelum kau diadopsi."



Dengan latar belakang rumah panti asuhan tersebut, sosok kecil Jaemin dan Haechan berdiri saling merangkul bahu masing-masing dengan senyuman yang begitu lebar.



Namun, tak ada satupun ingatan yang mampir sejenak setelah melihat foto tersebut sehingga membuat Jaemin menghela napas frustasi seraya mengusak rambut.


"Aku sama sekali tidak bisa mengingatnya, Haechan."



Erangan frustasi juga keluar dari mulut Haechan, fotonya terlempar ke bawah dengan kesal. Bibirnya terasa kering karena sedari tadi dia yang menjelaskan sedangkan Jaemin tidak bisa mengingat satupun di antaranya.



Namun, bukan berarti ia menyerah. Mungkin ini semua terlalu cepat bagi sahabatnya itu. Haechan menatap sosok Jaemin di sampingnya yang sedang memejamkan mata seraya memijit pelan pelipisnya.



"Oke, jangan dipaksa mengingat jika kau tidak bisa," posisi duduk pemuda dengan kulit tan itu berubah menyamping, "Ceritakan dulu padaku, mengapa kau bisa amnesia? Kecelakaan?"



Helaan napas berhembus sejenak, Jaemin menundukkan kepala tampak tak niat untuk menceritakan, "Jatuh dari tangga."




Jawaban tersebut membuat Haechan menautkan kedua alisnya, menatap penuh selidik pada pemuda Na, "Separah itu sampai membuatmu amnesia?"



"Ditambah pukulan dengan vas bunga."



Seakan tidak ada beban untuk menjawabnya, Haechan membulatkan kedua bola matanya, "Untung ciptaan Tuhan, masih utuh itu kepala," celetuknya sembari menggelengkan kepala.




Jaemin tertawa kecil menanggapinya sampai menundukkan kepala dan melihat jejeran foto di dekat kakinya, dahinya mengerut tiba-tiba kala menangkap salah satu di antaranya, tubuhnya membungkuk seraya tangannya mengambil foto tersebut.



"Siapa dia, Haechan?"




Yang dipanggil namanya langsung beringsut mendekat, sampai wajah mereka bersentuhan, bibir Haechan menyunggingkan senyum lebarnya, "Ini Ibu Guru Cantikmu, Jaemin!"




"Ibu Guru — apa?"




"Kau memanggilnya Ibu Guru Cantik. Sebelum tinggal di panti asuhan, kau tinggal bersamanya. Beliau guru di sekolah dasar kita dulu."




Wajahnya tidak asing dan ingatannya kembali pada kejadian tadi malam di mana melihat sosok wanita itu bersama Hendery. Suara yang memanggil namanya pun hampir sama dengan dalam mimpinya.






***




"Terima kasih sudah memberi penyuluhan di sekolah ini."




Chae Yong menyunggingkan senyum ramahnya pada sosok dokter muda di hadapannya, lesung pipi itu terlihat disertai kekehan kecilnya.




"Aku senang bisa memenuhi permintaan ini pada akhirnya, anak-anak juga sangat menyenangkan tadi."



Beberapa kali mereka disapa oleh murid selama perjalanan menuju ke ruang guru. Kegiatan yang baru saja dilakukan adalah tentang kesehatan anak-anak yang memang baru-baru mudah sekali jatuh sakit karena tidak bisa membagi sekolah dan kegiatan luar, apalagi ponsel sudah merajalela bagi usia dini.



Dilecto✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang