Sorry for typo(s)
"Seharusnya kau mati! Laki-laki berengsek itu yang menginginkanmu! Aku tidak!"
"Ssh.. jangan menangis, anak manis. Ayo bermain dengan Paman sebentar."
"Oh, lihat! Tidak ada yang menginginkan anak kotor sepertimu! Mereka hanya kasihan. Menyedihkan sekali."
Tubuhnya bersimbah keringat dengan tangan yang bergemetar pula. Pandangannya mengedar tak tentu arah melihat sekitar kamar, selimut tebal itu telah terbuang ke lantai. Kedua tangan menutup telinganya seraya memejamkan mata, air mata itu turun tiada hentinya.
"Maaf, maaf, maaf, maaf."
Kata yang sama selalu terucap di bibir mungil itu. Hatinya terasa sesak mengingat kalimat-kalimat tersebut.
"Ayah, Ayah, Ayah."
Beranjak dari ranjang, ia berlari menuju ke ransel power rangersnya di sudut ruangan. Tangannya sibuk mengeluarkan baju-baju di sana, "Ayah, Ayah, Ayah," gumamnya tiada henti.
Wajahnya panik, ia tidak menemukan Ayahnya. Ketakutan merasuki tubuh letih itu, sebuah ingatan terlintas dalam pikirannya. Kamar ini sedikit berbeda dari miliknya, perabotannya bahkan tidak ada pendingin ruangan di kamarnya dulu. Pelan Jaemin membuka pintu, keadaan di luar terlihat sunyi.
Maniknya mendongak untuk melihat jam, pukul satu pagi. Tanpa ragu, ia berjalan menuruni tangga bahkan berhasil keluar dari rumah tersebut.
Langkah mungilnya menuntun sampai pada bangunan yang sudah hancur sebagian, garis kuning polisi masih ada di sana. Jaemin melewatinya dan menyusuri ruangan yang sudah dihapal luar kepala.
Tangga yang sudah usang itu ia naiki perlahan, sinar bulan begitu baik untuk menyinari setiap langkah yang diambil. Penuh dengan abu dan barang rusak berserakan, Jaemin membuka kamarnya.
Berlari mendekati lemari kecil di samping tempat tidurnya kemudian membuka dan menemukan sebuah benda yang dicari.
"Ayah!" serunya kemudian memeluk figura yang beruntung tidak sampai menghabiskan foto tersebut, "Kita sama-sama kesepian, ya? Jaemin minta maaf meninggalkan Ayah di sini."
Malas untuk berpindah, debu serta abu di sana menempel pada tubuh serta baju karena duduk di lantai. Bersandar pada ranjangnya serta memandang langit malam lewat jendela yang sudah rusak itu.
"Mulai sekarang, Jaemin tidak akan meninggalkan Ayah karena Jaemin hanya memiliki Ayah. Jangan pergi seperti mereka."
Isakan itu mengiringnya untuk tidur kembali dalam posisi meringkuk sembari memeluk sosok sang ayah yang belum pernah ia temui. Namun, rasanya begitu nyaman.
***
Lagi, lagi, Chae Yong kesiangan untuk bangun. Tak hanya dirinya, sang suami juga masih pulas karena syuting yang hampir sampai tengah malam tersebut. Sembari mengikat rambutnya, wanita itu beranjak dari tempat tidur menuju ke kamar mandi.
Sekitar limabelas menit membersihkan diri sekaligus memakai seragamnya, Chae Yong turun ikut membantu Bibi Oh menyiapkan sarapan. Salah satu alisnya terangkat kala melihat putra sulungnya sudah tampan dengan seragam sekolahnya.
"Hari ini ada ulangan, jadi setelah belajar aku langsung mandi tadi," jelas Mark disertai senyuman.
Merasa bangga, sang ibu memberi kecupan pada keningnya, "Tolong bangunkan adik-adik ya," pintanya lembut yang dibalas dengan anggukan patuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilecto✓
FanfictionTeruntuk kalian yang pantas dicintai. Termasuk dirimu, Na Jaemin.