Sorry for typo(s)Apa yang terjadi dalam kehidupan bisa diibaratkan ketika kau mendapat sebuah kotak hadiah, yang di dalamnya tidak pernah kau ketahui isinya. Suka atau tidak, sesuai keinginan atau tidak. Namun, kau tetap akan menerimanya sebagai bentuk rasa terima kasih pada mereka yang memberikan.
Tidak perlu penjabaran rumit bukan untuk menggambarkan sebuah kehidupan?
Pada dasarnya, kerumitan itu berasal dari manusia sendiri. Egonya lebih besar dari kelapangan dada. Lucu, ketika beberapa orang mengatakan bahwa menjalani kehidupan itu sederhana, tetapi yang dirasakan Jaemin sangat sulit.
Rasanya, tidak ada waktu untuk mengeluh. Bahunya begitu berat dirasa, Hendery memang ada untuknya. Namun, bagi seorang anak — sosok orang tua sangat dibutuhkan kehadirannya.
Bagaimana rasanya dimarahi saat bangun terlambat?
Merasakan setidaknya harum masakan seorang ibu.
Diantar sekolah oleh sang ayah.
Jaemin hanya bisa melihat dari jarak kejauhan di mana anak-anak seusia mereka mencium pipi ayah dan ibu di dalam mobil, melambaikan tangan saat berpisah naik bus atau saling berpelukan kala menerima hasil rapor.
Hatinya terasa teriris kala melihat pemandangan tersebut.
"Aku tidak iri ya, aku hanya kesal saja melihat wajahnya. Sok sekali, kulempar sepatu mahalku baru tahu rasa!"
Maniknya mengerjap kala mendengar ocehan tersebut, kepalanya menoleh dan mendapati sosok Haechan sedang mengepalkan kedua tangannya di udara dengan raut wajah kesal.
Keduanya sedang berada di taman dekat sungai Han, tidur telentang di atas hamparan rumput hijau. Sepulang sekolah tadi, Haechan menculiknya dan tidak menerima penolakan atas ajakan tersebut. Berakhir mereka di sini dan Jaemin mendengar curhatan atau lebih ke omelan dari pemuda berpipi gembil tersebut.
"Mentang-mentang selalu jadi nomor satu di kelas dan mendapat ranking paralel seenaknya saja merendahkan orang lain! Lagipula kenapa Tuhan memberikan otak pintar pada manusia tidak tahu diri seperti itu!"
Senyum Jaemin terukir melihat betapa kacaunya temannya tersebut, emosinya benar-benar terluapkan sampai kakinya menendang bebas ke udara.
"Selalu ada kekurangan dalam kelebihan, Haechan."
Sebelum menjawab, pemuda berkulit tan tersebut mendengkus keras kemudian merubah posisinya menjadi duduk. Surai kecokelatannya terlihat berantakan, tetapi masa bodoh. Haechan sedang kesal dan ingin meluapkannya detik itu juga.
"Iya, iya, aku tahu! Tidak ada manusia sempurna di dunia ini. Tapi — ish — kalau tidak ada undang-undang sudah kucolok mata itu dengan sumpit kantin!" wajahnya merengut sebal, alisnya bertaut menandakan bahwa Haechan benar-benar marah, "Semakin ke sini, aku semakin membenci manusia!"
Salah satu alis Jaemin terangkat kemudian tertawa kecil, "Kalau begitu kau sedang membenci dirimu sendiri."
"Enak saja, aku makhluk Tuhan yang memiliki hati dan perasaan saling peduli terhadap orang lain, ya. Tolong bedakan!"
Percuma saja berdebat dengan Haechan, pemuda manis itu akan kalah telak nantinya. Anggukan kepala sebagai penutup pembicaraan mereka. Sahabatnya itu kembali dengan posisi terlentang, menatap langit yang sudah hampir petang.
Hari ini Jaemin sedang libur untuk kerja paruh waktunya dan berkat Haechan, waktu yang kosong ini setidaknya berguna untuk menenangkan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilecto✓
Fiksi PenggemarTeruntuk kalian yang pantas dicintai. Termasuk dirimu, Na Jaemin.