Dilecto 2.0✓

9K 2K 219
                                    

Sorry for typo(s)



Banyak orang mengatakan bahwa kehidupan itu bagaikan sebuah roda yang diputar, kau bisa berhenti di atas, bawah atau tengah-tengah. Untuk sekarang, seseorang tidak tahu berada di posisi mana, semua tampak samar-samar dirasakan.



"Satu kopi tanpa gula dan roti bakar berlapis cokelat," diletakkannya pada meja berbentuk bundar tersebut, "Selamat menikmati!" serunya ramah.


"Terima kasih, Jaemin."


Senyuman yang bisa dibalas olehnya, kemudian berbalik menenteng nampan kosong tersebut. Berdiri di depan pintu dapur untuk menunggu pesanan mana lagi yang akan diantar olehnya.



Lembaran kalendar berganti, Jaemin sudah menginjak usia limabelas tahun dengan bekerja paruh waktu di sebuah kedai sederhana yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Dari pukul empat sore sampai delapan malam, walaupun tak seberapa setidaknya uang tersebut bisa menyambung hidupnya di kemudian hari.



"Nomor duabelas, Jaemin."


"Siap, Paman!"



Beruntung, tinggi tubuhnya memudahkan dia untuk diterima bekerja - tinggi dengan berat tubuh yang berada di angka rata-rata. Tidak buruk, Jaemin sehat.




"Ini untukmu," salah satu alisnya terangkat kala melihat lembaran uang yang disodorkan oleh pelanggan di sana, "Makan yang banyak supaya pipi itu terisi," kelakarnya yang disertai kekehan kecil.



Pada momen seperti ini, Jaemin merasa rodanya sedang berada di atas. Masih begitu banyak orang baik di luar sana yang belum semuanya ia temui. Manik cokelat itu berbinar kemudian membungkuk sopan.



"Terima kasih banyak!"



Sangat tulus kata itu terucap dari bibirnya, pelanggan laki-laki tersebut menepuk bahu Jaemin menandakan bahwa tidak apa-apa, sudah sewajarnya ia diberi reward untuk kehidupan yang dijalani. Tak banyak yang tahu tentang siapa itu Na Jaemin, mereka hanya melihat sosok anak yang gigih mencari uang untuk biaya sekolah dan makan sehari-hari.



Bel yang berbunyi menandakan pelanggan datang kembali, dengan senyuman ramahnya Jaemin menyambut. Terlihat beberapa anak sekolahan yang baru saja pulang sekolah sengaja mampir ke sana, anak itu segera mendekati meja mereka.




Ada empat pelajar di sana, Jaemin berdiri di antara kursi mereka, "Silakan menentukan menunya, jika sudah kalian bisa memanggilku," ujarnya sopan seraya menaruh buku yang tipis itu di atas meja.




Tubuhnya berbalik ingin meninggalkan sejenak, tetapi lengan Jaemin ditahan oleh salah satu dari mereka membuatnya tertegun. Ia perlahan menoleh dan mendapati anak yang duduk di tepi dengan surai hitam menatapnya dengan alis bertaut.




"Jaemin?"




"Eh?" refleks ia bersuara, pasalnya tidak ada yang tahu namanya selain pelanggan yang setiap hari ke sini sedangkan gerombolan anak ini baru pertama kali Jaemin melihatnya.


"Ne?"


"Kau tidak mengingatku?"



"Maaf?"




Pertanyaan tersebut membuat Jaemin heran, ia menatap tiga orang lainnya. Ingatan tentang mereka bahkan tidak ada sama sekali di otaknya. Kepalanya menggeleng menjawab pertanyaan tersebut, dengan sopan ia melepas pegangan tangan tersebut kemudian berjalan menuju ke dapur kembali.








***





Bekerja selama empat jam memang tidak terasa, tetapi kakinya sudah mulai terasa pegal karena hari ini kedai begitu ramai oleh pengunjung. Untuk menaiki bus, Jaemin menahan betul supaya tidak menggunakan uangnya selagi ia bisa melakukan tanpa benda tersebut.




Melewati beberapa blok lagi, Jaemin akan sampai di rumah. Lampu di jalan membuat bayangannya begitu jelas terlihat pada aspal, begitupula bayangan lainnya yang tengah mengikuti dirinya.




Kedua tangannya sibuk menyembunyikan beberapa lembar uang di balik jaket miliknya. Langkahnya berhenti dan terdengar sebuah gesekan sepatu dengan aspal di belakangnya. Tanpa aba-aba, Jaemin berbalik.



"Kau?"



Pelajar yang masih menggunakan seragam sekolah itu berdiri tak jauh darinya, tatapannya begitu tajam menusuk membuat Jaemin bergerak tidak nyaman. Tidak menyangka bahwa anak laki-laki itu mengikutinya.



"Kau benar-benar membenciku sampai berpura-pura tidak mengenailku?"



Lagi, pertanyaan tidak masuk akal bagi Jaemin. Diamnya benar-benar tidak tahu harus menjawab apa, mungkin yang dimaksud Jaemin lainnya oleh anak itu.




"Aku benar-benar tidak mengenalmu."



Kekehan sarkas yang membuat kedua alis Jaemin bertaut, "Kau membenciku karena aku memintamu untuk pergi dari rumahku? Bahkan setelah kau pergi, Mama selalu mengingatmu!" suaranya penuh dengan amarah.




Merasa ini tidak berhubungan dengannya, Jaemin melambaikan tangan, "Pulanglah! Aku bukan Jaemin yang kau cari!" kemudian ia berbalik.




Baru beberapa langkah diambil, tubuhnya terhuyung ke bawah, tangannya terasa panas karena bergesekkan dengan aspal di sana, "Dasar lemah! Berpura-puralah seperti itu! Awas sampai kau menemui keluargaku! Aku Jeno, tidak akan membiarkannya!"




Perlahan, ia menoleh dan menatap anak yang telah diketahui bernama Jeno dengan sorot penuh amarah, "Aku benar-benar tidak mengenalmu! Aku memang Jaemin, tapi aku tidak mengenalmu, Jeno? Lalu siapa, Ibumu? Untuk apa aku menemui mereka, hah?!" sentaknya.




Belum sempat membuka mulutnya, sebuah batu mengenai kening Jeno yang membuatnya mengaduh kesakitan. Jaemin membulatkan mata kala luka berdarah tergores di sana, ia menoleh ke belakang.




"Jangan ganggu Jaeminku! Jangan ganggu Jaeminku! Jangan ganggu Jaeminku!"




"Hyung!" dengan tergopoh-gopoh, Jaemin menghampiri sosok laki-laki yang memiliki batu kerikil di telapak tangannya.




Jeno yang dilempari merasa amarahnya memuncak, ia memilih untuk pergi meninggalkan dua orang tersebut.




"Hyung?" ia berusaha keras membuang baru kerikil milik sang kakak seraya menangkup wajahnya, "Dia sudah pergi."




Maniknya bergulir tak menentu, "Pergi! Pergi! Tidak boleh menyakiti Jaeminku, tidak boleh menyakiti adikku!"




Seulas senyum terukir di bibir Jaemin, kemudian memeluk sang kakak dengan hembusan napas lega. Pasti ia telah melewati jam sehingga kakaknya keluar dari rumah dan mencarinya.




"Hendery hyung lapar? Jaemin membawa makanan."



"Makan bersama Jaemin?"




"Tentu saja."





Pekikan gembira itu membuat Jaemin tertawa kecil. Suara itu benar-benar kebahagiaan untuknya.







Hidup memang sulit, tetapi memiliki Hendery adalah sesuatu yang luar biasa. Keterbelakangan mental tak membuat rasa sayang itu berkurang.














-

Terima kasih untuk cinta kalian terhadap Dilecto♥️
Mari berjuang bersama Jaemin di sini.
Untuk alasan mengapa Jaemin tidak ingat dengan Jeno, akan ada penjelasan nantinya. Tunggu saja:)

Dilecto✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang