Sorry for typo(s)
Suasana di kediaman keluarga Lee sedikit berbeda dari malam biasanya, sang kepala keluarga Jungjin selesai menidurkan si bungsu di kamarnya. Langkahnya membawa ke ruang tamu di mana sang istri dan putranya saling berhadapan di atas sofa yang diduduki.
Dari sikap yang diperlihatkan Jeno, anak itu sama sekali tidak menampilkan rasa bersalah. Kedua tangannya bersidekap di depan dada memalingkan wajahnya ke arah lain. Duduk di samping sang istri, Jungjin menatap lekat putranya.
"Jadi, kau sudah pernah menemui Jaemin sebelumnya?"
Suara Chae Yong memecahkan suasana, sedari tadi ibu tiga anak itu tampak menahan untuk mengeluarkan segala pertanyaan bagi sang putra. Selama ini, ia selalu menampilkan rasa khawatir terhadap Jaemin, tetapi mengetahui Jeno menemui pemuda Na itu membuatnya tidak mengerti, mengapa putranya melakukan hal demikian.
Apalagi tentang ucapan Hendery tadi. Ada yang disembunyikan putranya, hal tersebut tentu saja membuat Chae Yong ingin lebih tahu.
"Aku mendengar perbincangan Mama dan Papa tentang bertemu dengan Jaemin."
"Untuk apa kau menemuinya langsung kalau begitu?" pertanyaan tersebut berasal dari sang ayah.
Manik Jeno beralih pada beliau kemudian seraya menghela napas dan mengendikkan kedua bahunya. Namun, batinnya memberontak ingin marah. Untuk apa membicarakan ini? Mengapa Jaemin selalu menjadi topik pertama pembicaraan mereka?
Tidak ada jawaban, Chae Yong berdiri dari tempat duduknya. Berjalan mendekati sang putra dengan sorot mata yang penuh dengan pertanyaan.
"Apa yang dibicarakan kakak Jaemin tadi benar?"
Kening Jeno berkerut, kepalanya mendongak untuk menatap sang ibu yang seperti mengadilinya, "Dia kan autis, Mama percaya?"
"Mama tidak pernah mengajarkanmu berbicara seperti itu, Jeno."
Bola mata anak remaja itu berotasi malas, menghentakkan kakinya kemudian berdiri. Bukannya menjawab, Jeno berjalan melewati sang ibu.
"Lee Jeno!"
Langkahnya berhenti kemudian setelah mendengar panggilan sang ibu dengan nada tinggi.
"Benar kau memukul Jaemin?"
Tubuh Jeno berbalik menghadap ibunya, "Kalau iya, kenapa?" balasnya nyalang.
Jawaban tersebut membuat Jungjin berdiri dari duduknya dan berdiri di belakang sang istri. Belum saatnya dirinya menimpali, bisa dilihat dari gerak-gerik Jeno yang mengingatkan dirinya pada masa muda.
"Mengapa kau melakukan hal itu, Sayang? Apa kau lupa bahwa Jaemin —
— Jaemin yang trauma, Jaemin yang sangat sensitif, Jaemin yang membutuhkan orang-orang untuk menyayanginya. Jaemin! Jaemin! Jaemin! Anak Mama itu Jaemin atau aku?!"
Bentakan tersebut membuat Chae Yong terperangah, maniknya membulat. Tak pernah menyaksikan bahwa putra keduanya yang begitu dikenal ramah dengan senyum mata bulan sabitnya itu tersulut emosi.
"Bertahun-tahun Mama hanya meratapi dan memikirkan nasib Jaemin, seakan saat dia terluka kecilpun dunia Mama akan runtuh seketika. Aku tahu, Ma. Dia memiliki masa kecil yang menyedihkan, tapi coba, buka mata Mama, lihat ke belakang di mana Jeno juga mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari orang lain," tangannya terangkat ke udara mengekspresikan perasaan, "Anak orang kaya, Ayah yang seorang aktor terkenal, Ibu yang memiliki prestasi dan dikenal di beberapa sekolah Seoul, seharusnya aku bisa mendapatkan banyak teman. Tapi tidak, mereka menjauhiku, selalu membedakanku dengan keadaan mereka, berbicara di belakangku. Aku bisa menyombongkan diri sendiri, tapi tidak kulakukan karena aku hanya seorang diri. Mereka yang mendekatiku hanya tertarik pada uangku. Oh, memang tidak menyedihkan seperti kasus Jaemin. Jadi, mungkin itu tidak penting bagi kalian."
Setelah mengatakan tersebut Jeno berbalik meninggalkan kedua orang tuanya yang masih terpaku dan mungkin mencerna apa yang dikatakannya baru saja. Sang kepala keluarga menoleh pada istrinya, melingkarkan lengannya pada Chae Yong.
Tak bisa mengatakan apapun, wanita cantik itu hanya menitihkan air matanya yang semakin membuat Jungjin panik dan menuntunnya untuk duduk kembali. Bersimpuh di depan istrinya, lelaki itu mengusap pipi Chae Yong, "Ssh... Jangan memikirkan yang macam-macam terlebih dahulu. Jeno —
— Jeno membenciku?"
Kedua tangan Jungjin menangkup wajah sang istri tercinta, panik jika mengetahui pemikiran yang terlintas sedemikian rupa. Kepalanya menggeleng guna menyanggah kalimat tersebut.
"Tidak, Sayang. Tidak."
"Apa kau juga merasakan yang sama? A-aku terlalu berlebihan memikirkan Jaemin?"
Pada akhirnya, pertanyaan tersebut terlontar untuknya. Bukan karena membenarkan, melainkan Jungjin ingin menegaskan sesuatu pada istrinya.
"Benar, 'kan?"
Sebelum menjawab, Jungjin menyunggingkan senyum kecilnya seraya meremas kedua tangan sang istri dalam genggamannya, "Tolong dengarkan aku sampai selesai ya."
Chae Yong terdiam dengan kedua bola mata merahnya yang menahan tangisan, di depannya sang suami berdeham pelan sejenak sampai kemudian keduanya saling menatap.
"Dalam kehidupan, anak tidak bisa memilih siapa orang tuanya begitupula mereka orang tua yang tidak bisa memilih bagaimana anaknya nanti. Kita, memiliki tiga putra. Mark, Jeno dan Jisung. Posisi Jeno adalah di tengah di mana menjadi seorang kakak dan adik. Harus tunduk pada Mark dan mengalah untuk Jisung. Pada kitalah, Jeno bisa menjadi 'anak tunggal' dan mungkin," Jungjin menghela napas sejenak seraya membasahi bibirnya, "Mungkin kehadiran Jaemin membuatnya seperti disingkirkan. Menjadi urutan paling belakang karena keduanya bersahabat dulu. Sekali lagi, dia harus menerima cinta Ibunya dibagi kembali."
Manik Chae Yong terpejam dengan air mata yang mengalir begitu saja. Kedua tangannya menutup wajah cantiknya, Jungjin bergerak untuk memeluk istri tercinta dan membiarkan bahunya basah.
Seperti yang dikatakan orang-orang, tak ada manusia yang sempurna. Sekalipun dia adalah sosok Ibu.
—
Maaf, kalau dirasa karakter Jeno tidak masuk akal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilecto✓
FanfictionTeruntuk kalian yang pantas dicintai. Termasuk dirimu, Na Jaemin.