Sorry for typo(s)
Banyak orang mengatakan bahwa rumah adalah tempat yang paling nyaman. Semua keluh kesah tidak perlu diketahui orang lain jika kau bisa berdiam di dalam kamar dan merenunginya. Tidak ada yang dapat disalahkan dalam kondisi seperti itu, semua perasaan akan tertuang dalam kesendirian, tetapi rasa nyaman juga akan mencuri ruang di antaranya.
Sayangnya, semua itu tidak atau mungkin belum dirasakan oleh sosok kecil Jaemin. Wajah ceria di setiap detik waktu belajar itu harus luntur ketika bel pulang sekolah berbunyi.
Maniknya masih mengamati teman-teman mengemasi barang, ada pula mereka yang bersorak sembari berlari seakan tempat ini menakutkan.
"Jaem, ayo!" baru kesadarannya teralih dan melihat sosok Jeno berdiri di samping mejanya.
Belum ada reaksi apa-apa selain jawaban polos terlontar,"Jeno duluan saja. Jaemin masih rindu bangku ini," yang mana membuat anak kedua keluarga Lee itu mengerutkan kening.
Nyatanya, sikap ceria dari Jaemin tidak cukup menutupi keanehan dirinya. Itulah pemikiran dari Jeno, tetapi karena sang ibu begitu menyukai teman satu kelasnya tersebut, mau tak mau juga harus bersikap baik padanya.
"Kata Mama, kita pulang bersama. Ayo," ajaknya buru-buru. Tidak ingin membuatnya marah. Si kecil Jaemin memasukkan buku dan tempat pensil tersebut, kemudian berjalan keluar dari kelas.
Sesekali Jeno melirik, kerutan pada dahinya terlihat kala menangkap raut wajah dari temannya, "Kau aneh."
Kalimat tersebut terlontar begitu saja sampai membuat Jaemin menoleh dengan kedua alis yang terangkat, "Aneh?" tanyanya begitu polos dengan memiringkan kepalanya pada Jeno.
"Saat masuk sekolah kau tampak semangat, tapi begitu pulang kau seperti ingin menangis. Aku rela membersihkan kamar setiap hari asal tidak berangkat sekolah."
Sedetik kemudian, si manis itu menyadari maksud Jeno. Ia memamerkan deretan giginya, "Jaemin tidak merasa sendiri di sini."
Tepat mereka sampai di ruang guru, Jeno menatap Jaemin sejenak. Jawaban tadi membuat dirinya terhenyak, tidak mengira bahwa alasan seperti itu yang keluar dari bibir teman sekelasnya. Lee muda itu justru setiap hari selalu mengeluh mengapa ia memiliki seorang kakak yang begitu terkenal dengan keramahannya dan adik yang cerewet sekaligus suka mengganggu.
"Oh, kalian sudah datang."
Kedua anak itu mendongak karena kehadiran ibu dari Jeno tersebut. Wanita itu sedikit menunduk dengan salah satu tangan yang mengusap rambut sang putra,"Kita makan dulu ya, pasti kalian lapar."
Senyumnya terukir kala mendapat anggukan antusias dari putranya, tetapi suara selanjutnya sangat berbanding terbalik dari yang diinginkan.
"Maaf, Ibu Guru Cantik," lirih si kecil Na tetapi masih memberikan senyuman, "Jaemin harus pulang, nanti Mama mencari."
Raut wajah Chae yong tak sesenang tadi, ia bersimpuh di depan keduanya, "Sebentar saja, nanti Ibu Guru antar pulang."
"Dibawa pulang saja, Ma. Aku juga ingin cepat bermain game," sela Jeno kemudian.
Keputusan bersama telah diambil. Chae yong berjalan berdampingan dengan dua anak tersebut, senyum terpatri di wajah cantiknya.
***
"Jaemin juga, ayo pilih apa, sayang?"
Maniknya mengamati daftar harga makanan di sana, jumlah angka yang banyak. Senyuman kecil tersungging di sana, ia menoleh pada wanita tersebut dan menggelengkan kepala, "Tidak usah, Ibu Guru Cantik. Lebih baik untuk Mark hyung dan Jisungie saja."
Wanita itu tertawa kecil kemudian memperlihatkan dua bungkus di atas meja kasir tersebut, "Itu untuk mereka, sekarang Jaemin."
Bibir mungilnya membentuk huruf O, tak berani menatap sang guru kemudian, dengan tergagap ia mengatakan, "I-itu, nanti kalau Mama memasak, kasihan tidak ada yang memakan. Jadi, tidak usah saja."
Untuk ukuran anak kecil sepertinya, Chae yong tidak menyangka jawaban itu akan keluar dari mulutnya. Setelahnya, ia tidak mengeluarkan tawarannya lagi. Jaemin selalu menang untuk menghindar.
Setelahnya mereka kembali menuju ke mobil untuk pulang. Selama perjalanan hanya Jaemin dan Chae yong yang terlibat dalam percakapan sedangkan putranya sudah terlelap di pangkunnya. Wanita itu begitu mengagumi kepribadian si kecil Na, memorinya kembali pada pertama kali pertemuan mereka di sekolah.
***
Pintu berwarna putih itu ditutup pelan oleh Jaemin. Langkahnya juga kala menapaki kediaman miliknya. Bibirnya digigit tanpa sadar.
"Dari mana saja?"
Tubuhnya terlonjak tiba-tiba, refleks berbalik menatap sosok wanita paruh baya, dari yang Jaemin lihat penampilannya, sang Ibu sudah siap untuk berangkat bekerja.
"Jaemin baru pulang."
"Bukankah sekolahmu berakhir satu jam yang lalu?"
Inilah yang membuat Jaemin ingin menolak dari awal ajakan sang ibu guru. Ibunya selalu berpesan untuk tidak boleh ikut dengan orang lain dan harus pulang tepat waktu. Kepalanya tertunduk kemudian.
"Ma-maaf, Ma."
Geraman pelan keluar dari ranum yang sudah dipoles dengan warna kecokelatan tersebut, tangannya mengibas rambut pendeknya, "Aku sedang tidak mood menghadapimu. Cuci piring-piring dan baju, saat aku pulang semua harus sudah selesai," katanya seraya menyampirkan tas di salah satu lengannya.
"Mama," panggilnya ketika melewati dirinya, "Jaemin lapar," tetapi belum sempat kalimat itu terucap sang ibu sudah menutup pintunya.
Lagi, hanya ulasan senyum kecil terukir. Langkah mungilnya memasuki rumah dan menuju ke dapur. Tampak berantakan apalagi dengan beberapa botol berwarna hijau dengan bau yang tidak disukai Jaemin. Sang ibu berubah menjadi jahat jika meminumnya.
Di atas meja makan terdapat satu potongan kue. Ia menyentuhnya, keras dan sudah sedikit berubah warna. Tetapi perutnya sudah meronta meminta diisi, melihat keadaan rumah tak mungkin kuat jika Jaemin melakukannya tanpa mengisi tenaga. Berakhir pula ia meraih kue tersebut.
Kepalanya menoleh pada jam dinding di sana, bibirnya mengulas senyum kemudian berlari menuju ke kamar atas miliknya. Ranselnya diletakkan sembarang arah lalu mengambil kursi belajarnya dan duduk menghadap ke arah jendela.
"Selamat sore, Ayah. Maaf ya, Jaemin terlambat. Tadi Ibu Guru Cantik mengajak jalan-jalan. Dia masih baik sekali, seperti Ibu Peri."
Tidak ada yang menyahut karena Jaemin sedang berbicara pada sebuah figura foto kecil. Sosok laki-laki dengan senyum yang hampir menyerupainya, tampak begitu gagah dengan seragam sipil sebagai pahlawan negara, tetapi gugur bahkan sebelum Jaemin bisa mengucap namanya.
"Mama sudah berangkat bekerja, Mama tidak memasak lagi. Tapi tidak apa-apa, Mama harus bekerja untuk Jaemin juga kan? Jaemin masih di sini berkat Mama, kalau tidak Jaemin nanti tidur di mana?" lirihnya, tangannya mengangkat kue yang hampir basi tersebut, "Jaemin makan ya, Yah."
Bersamaan pula satu tetes keluar dari pelupuk manik indahnya.
—
Bersyukur yang masih makan masakan orang tua atau yang jauh dari mereka selalu ditanya, "sudah makan belum, nak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilecto✓
Hayran KurguTeruntuk kalian yang pantas dicintai. Termasuk dirimu, Na Jaemin.