Ch.26: Lelah

10.1K 1.8K 396
                                    


Sorry for typo(s)




Memang sudah hukum alam jika sebuah kehidupan akan berakhir pada kematian. Tidak ada yang bisa memberitahukan kapan waktu itu akan tiba, selain menyiapkan diri jika sudah waktunya. Begitu jahat ketika apa yang didapat dalam kehidupan tak sebanding dengan perjuangan, ingin marah tetapi hanya seorang diri untuk melawan dunia.




Jika kematian memang menjadi jalan terbaik, bagaimana orang-orang yang ditinggalkannya? Terbaik juga untuk mereka atau justru terpuruk dalam sebuah rasa kehilangan yang nyatanya tak ada obat untuk menyembuhkannya.



Dalam ruangan tersebut, sebuah peti diletakkan. Para pelayat menundukkan kepala dan masing-masing memanjatkan doa untuknya yang sudah pergi.



Ketiga Lee bersaudara saling berdampingan di sana, isakan juga terdengar jelas di samping Jeno berasal dari Haechan. Lengan jasnya sudah basah oleh air mata, pandangannya beralih pada sang ayah dengan kacamata hitamnya. Beliau hanya sendiri karena Chae Yong tidak bisa menghadiri.



Suara tangisan juga meramaikan suasana di rumah duka ini, sepasang suami istri yang Jeno kenal adalah pemilik kedai. Keduanya saling berpelukan karena tak kuasa menahan kesedihan.



Saat itulah Jeno juga menitihkan air mata, merasakan kehilangan. Lengan sang kakak melingkar pada tubuhnya dan mengusapnya pelan.




Tak banyak yang datang di sana, satu persatu mereka meninggalkan ruangan tersebut. Begitupula kedua saudaranya, tetapi Jeno masih bertahan di sana. Perasaan bersalah masih dirasakannya. Namun, tak ada kata yang terlontar di sana untuk meminta maaf. Remaja itu tidak tahu memulainya dari mana karena sejujurnya mereka tak sedekat itu. Sama sekali tidak.




Maniknya mengerjap kala melihat sosok Siwon melewatinya, detektif itu bersimpuh di samping peti berwarna hitam.




"Maaf, aku terlambat."




Begitu yang didengarnya sebelum Jeno benar-benar meninggalkan ruangan tersebut.







***





Begitu banyak pepatah mengibaratkan tentang kehidupan, seperti; Permasalahan dalam hidup seperti rasa asin pada air mata, mereka adalah garam kehidupan.




Seperti kau berniat ingin melihat matahari terbit, walaupun waktu hidup masih panjang tetapi kau akan selalu kehilangan momen paling hangat di pagi hari.




Jangan menunggu waktu, karena dia tidak akan menunggumu.




Jika sudah kehilangan kesempatan, kau tidak akan bisa mengembalikan waktu yang tepat lagi. Titik di mana kau berada adalah sebagai tanda awal untuk mengubahnya sampai akhir.




Ratusan lembar sebuah tulisan tidak akan cukup menuliskan kehidupan dari segala pandangan.




Jemarinya bergerak merapikan surai tersebut, mengecek keadaan sekitar ranjang jika mendapatkan sesuatu yang berbahaya baginya. Selimut juga terlihat rapi menutup sebagian tubuh yang terlelap di sana. Lama sekali ia memandang wajah tersebut, menyentuh punggung tangan yang terbungkus selang infus.




Dirasa ada sebuah pergerakan tiba-tiba serta suara lenguhan yang terdengar. Perlahan manik itu terbuka kemudian terpejam kembali karena cahaya ruangan yang begitu terang.







"Jaemin?"






Di sampingnya, Chae Yong berdiri dengan tangan yang terulur mengusap wajah penuh lebam itu. Sudah dua hari tertidur, dehidrasi yang dialami Jaemin mampu membuatnya tak sadarkan diri selama itu. Belum lagi luka yang ada di tubuhnya.






Dilecto✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang