Ch.11: Pahlawan

9.7K 1.9K 216
                                    



Sorry for typo(s)




Kotak makan yang berisikan dengan lauk pauk lezat itu hanya ditatap oleh Jaemin. Kedua tangannya menopang dagu, makan siang kali ini ia memilih untuk sendiri di tepi lapangan dan duduk bersila di tanah sana. Pohon beringin besar di belakang telah melindunginya dari terik matahari, semilir angin menerpa surai hitam itu.



Dia lapar tetapi saat melihat nasi dengan lauk pauk tersebut justru membuatnya mual, seakan ia tahu perutnya tak bisa menampung porsi sekian. Berbulan-bulan Jaemin hanya memakan kue-kue sisa, air putih serta buah. Nasi baginya adalah sesuatu yang mahal untuk didapat.


"Nana-ya!"


Tubuhnya tersentak kala mendengar suara nyaring tersebut, dari arah gedung sekolah terlihat Haechan yang tergopoh-gopoh menghampirinya seraya membawa kotak makan di tangan dan botol minuman di tangan kiri.



"Nana?" lirihnya saat anak baru itu duduk di hadapannya dengan napas tersengal.



Tangan Haechan terangkat mengisyaratkan untuk diam sedangkan dirinya meneguk hampir setengah botol minuman kemudian bersendawa pelan membuat Jaemin mengernyitkan wajah.



"Kalau tidak bersendawa itu tidak sehat malah daripada aku kentut?" celotehnya bar-bar.


"Woaaah! Enak sekali makananmu!" seru Haechan kemudian membuka kotak miliknya sendiri, "Ah! Eomma suka sekali membuatkan aku telur, pantas aku bulat!"


Entah kenapa Jaemin tertawa kecil hanya dengan kalimat demikian, ia mengamati Haechan tengah makan dengan lahapnya, "Tidak apa-apa bulat, yang terpenting kau sehat dan tidak ada cacat di tubuhmu."



Mulut Haechan menggembung karena sedang mengunyah, ibu jarinya diangkat merespon balasan Jaemin seraya menganggukkan kepala. Keduanya menghabiskan waktu istirahat bersama, melihat sahabatnya itu tidak makan membuat anak baru itu menggerutu tidak jelas.



"Hei! Kasihan ibumu, dia sudah memasak untukmu dari pagi dan kau tidak memakannya?! Wah jika kau menjadi diriku sudah dibuang ke tanah lapang mungkin — bercanda! Mereka sayang padaku, Haechan itu tidak ada duanya, susah untuk dibuat!"



Begitu kira-kira bujukan untuk menyuruh Jaemin makan walaupun hanya berhasil tiga suap setidaknya perut itu tidak kosong, bukan?


"Kau harus menemaniku untuk berkeliling sekolah ini, aku harus menghapal tempat-tempatnya."


Makan siang itu, Jaemin hanya menjadi pendengar ocehan Haechan. Bagaimana ia bercerita tentang sekolah di Jeju dulu, kehidupan di rumah, ada kesamaan yang ada pada mereka.


"Mereka menyakitimu?"


Kepala Haechan mengangguk, seragam pada lengannya disingkap dan di sana ada sebuah bekas luka memanjang yang membuat Jaemin mengernyit ngeri.



"Mereka menggunakan silet, seragamku dulu penuh dengan darah. Hari besoknya, aku keluar dari sekolah itu."



"Ka-kau —




Tidak ada air mata di sana yang mana membuat Jaemin heran, orang lain telah menyakiti bahkan memberikan luka mengerikan itu, bagaimana bisa Haechan tidak sedih?




"Kuberitahu ya, aku memang dulu mudah menangis, selalu meminta untuk tidak sekolah. Namun, setelah aku pikirkan, aku bodoh jika melakukan itu. Mereka pasti senang karena aku kalah. Hanya karena warna kulitku berbeda dan bentuk tubuhku yang lebih besar, mereka mengejekku. Ya ampun, lebih tampan aku ke mana-mana," cerita itu membuat Jaemin tertarik sampai tubuhnya condong ke depan dengan raut wajah serius, "Mereka hanya menang karena memiliki banyak teman, sedangkan yang lain takut untuk membelaku. Ini tentang keberanian, kita harus berani melawan, Na!"



Dilecto✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang