Ch.27: Bangkit

9.6K 1.5K 202
                                    


Sorry for typo(s)





"Na Jaemin?"

"Lantai dua nomor tujuhpuluh lima."

Ucapan terima kasih mengiringi kepergiannya setelah mendapatkan informasi tersebut. Suara sepatunya begitu terdengar di antara lorong yang sepi kemudian memasuki sebuah lift. Tangan kirinya menekan tombol angka dua sedangkan yang kanan membawa sebuah kantong plastik. Sosok tersebut menunggu sampai suara berdenting itu terdengar, beberapa perawat melewatinya memberikan sapaan hangat serta membungkuk sopan.

Di hadapannya, terdapat sebuah taman berukuran kecil. Hanya ada tanaman bunga berwarna-warni serta dua buah bangku. Teriakan demi teriakan dari pasien yang sedang berlari atau berbicara sendiri menyambutnya.

Maniknya melirik pada papan nama di dinding dekat taman; Mental  Health clinics.


Dua bulan ini, remaja limabelas tahun harus berada di gedung ini. Tak ingin makan, minum dan berbicara adalah pilihan Jaemin untuk menutup diri. Memang terlalu berat untuk dirinya yang sudah mengalami trauma dari usia empat tahun.


Jika orang-orang tidak menginginkan dirinya untuk mati lebih baik diam dan tak berinteraksi.


"Tuan, selamat pagi."

Atensinya beralih pada sosok perawat wanita, usianya lebih tua. Sudah hampir duapuluh tahun bekerja dan mendedikasikan diri di rumah sakit ini.


"Baru kali ini dia meminta untuk keluar kamar, menulis memo kecil," wanita paruh baya itu menyunggingkan senyum kecil, "Dan bertanya apakah kau akan datang atau tidak? Dia sedang menunggumu."


"Terima kasih, Perawat Cho."


Berjalan menuruti jalan setapaknya, penampilannya yang rapi serta memakai jas berwarna abu-abu menarik perhatian pasien lainnya.


"Dokter baru!" seru mereka.


Lelaki tersebut hanya menyunggingkan senyum seraya melambaikan tangan.


Sesampainya ia berdiri di belakang bangku Jaemin yang sedang duduk membelakanginya. Seperti biasanya, anak itu hanya duduk dan melamun.


"Selamat pagi, Jaemin."


Lagi, tidak ada balasan. Lelaki tersebut berjalan mengitari bangku kemudian duduk di samping remaja manis tersebut, menghela napas panjang seraya memeluk kantong plastik yang dibawa.


"Apa yang kita bahas hari ini?" tanyanya lebih pada diri sendiri.


Ini pertemuan mereka kesekian kalinya. Awalnya, Jaemin benar-benar tak menggubris siapapun yang menjenguknya, termasuk Chae Yong. Namun, pelan-pelan sang ibu guru berhasil membujuk anak itu untuk menghabiskan makanannya.


Meninggalnya Hendery sangat membuatnya terpukul, seperti tak ada keinginan untuk hidup.


"Bagaimana kalau membicarakan tentang perbuatan baik dan jahat?"


Pertemuan mereka begitu spesial karena lelaki tersebut akan selalu membahas sesuatu seperti seorang guru. Tidak apa-apa jika Jaemin tak menanggapi. Diam bukan berarti mengabaikan jika berhadapan dengan remaja tersebut.


"Seseorang melakukan perbuatan kejahatan itu sangat mudah, tapi buruknya mereka adalah tidak ingin mengakui perbuatannya."


Maniknya bisa melihat bagaimana kaki Jaemin bergerak, menandakan bahwa anak itu mendengarkan.


Dilecto✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang