Ch.19: Ibu

8.4K 1.6K 83
                                    



Sorry for typo(s)




Berapa lamapun manik itu menatap lamat-lamat foto tersebut, ingatan Jaemin seakan tak bergerak untuk mengenalinya. Wajah anak itu memang dirinya lalu lembaran foto lain di mana seorang wanita sedang menggendong bayi dan laki-laki mencium keningnya dengan memakai seragam tentara. Bibirnya terangkat kecil, air mata tiba-tiba jatuh menetes. Maniknya terpejam, tetapi sekali lagi tak ada bayangan kenangan indah tersebut.

"Nanti Mama akan menemui Jaemin lagi, kita akan hidup bersama lagi, ya?"

Permintaan wanita tersebut masih belum dijawab oleh Jaemin saat beliau mengantarnya pulang dan sejak saat itulah Hendery tak pernah melepaskan tangannya. Ia menoleh pada sosok sang kakak yang sudah terlelap di atas ranjang dengan kedua kaki yang menindih dirinya.

"Jaemin jangan pergi, Jaemin untuk Hendery hyung," begitu kira-kira lantunan kalimat penghantar tidurnya.


Pelukan yang dirasakannya begitu asing, tetapi rasanya Jaemin juga merindukan sesuatu. Perasaannya tidak karuan sehingga membuatnya terjaga sampai pukul tiga pagi seperti ini.


Lima tahun terakhir dilalui begitu cepat oleh Jaemin, tangannya terangkat menyentuh luka di bagian belakang kepalanya lalu sedikit bergerak ke samping telinganya. Jahitan di sana masih menimbulkan pertanyaan bagi pemuda tersebut.

"Luka ini sudah ada sebelum apa yang terjadi padamu sekarang, seperti dari pukulan sebuah benda tumpul."

Kalimat demikian yang dikatakan dokter padanya dan Tuan Eun Jo yang saat itu membiayai pengobatannya. Kedua tangannya terlipat di atas meja kemudian menelungkupkan kepalanya di sana. Rasanya begitu lelah, fisik bahkan psikis sekalipun.


Satu-satunya yang membuat Jaemin meluapkan semua masalah adalah menangis, di ruang gelap seraya memeluk dirinya sendiri. Memang begitu banyak orang baik di luar sana membantunya, tetapi mengapa rasanya ia sendirian? Memiliki rumah seakan bukan tempat yang paling nyaman.


Bukan sebuah bangunan megah yang ia harapkan, bukan surat wasiat kekayaan yang diinginkan. Jaemin hanya menginginkan tempatnya berpulang, tanpa memiliki rasa takut dan cemas.



Namun, tampaknya ia harus membayar mahal untuk mendapatkan itu semua.



***


Jika berbicara tentang kehidupan, tidak akan ada akhirnya. Lagipula hidup bukan untuk diakhiri melainkan dijalankan, dunia pintar dalam mempermainkan kita, tergantung bagaimana meresponnya.


Kehidupan Chae Yong terbilang hampir sempurna, memiliki suami dan ketiga putra yang begitu mencintainya, rumah tangganya dihiasi penuh cinta dan kasih sayang. Tidak ada kekurangan dalam keuangan untuk mencukupi kehidupan, rumah yang begitu nyaman untuk ditinggali.


Namun, rasanya masih ada yang kurang baginya. Jemarinya menggenggam foto dengan ukuran kecil, sosok Jaemin yang memakai seragam sekolahnya dulu, senyumnya begitu manis sampai membuat Chae Yong juga menyunggingkan miliknya.


"Ma?"

Atensinya teralih kala mendengar panggilan tersebut, ia menoleh dan mendapati Jeno sedang berdiri di ambang pintu kemudian memasuki kamarnya. Senyum sang ibu menyambut dirinya, kedua lengan Chae Yong merangkul bahu putra keduanya tersebut.

"Sedang apa, Mama? Kenapa belum tidur?"


"Kau juga?" maniknya melirik jam yang ada di dinding, pukul empat pagi membuatnya menggigit bibir, "Mama sudah bangun dari tadi," dustanya.

Dilecto✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang