Euna bangun lebih pagi di hari di hari ini untuk menyiapkan sarapan. Kondisi Jimin sudah membaik setelah diberikan obat, dan sekarang suhu tubuhnya sudah kembali normal. Tetapi meskipun kemarin sudah membaik, Euna tetap saja tidak bisa meninggalkan Jimin di rumah sendirian dan pergi ke butiknya. Ia terlalu khawatir.
"memasak apa pagi ini?" tanya Jimin membuyarkan lamunan Euna. Jimin segera duduk di meja makan dengan tatapan teduhnya menatap Euna.
"hanya japchae dan bulgogi." jawab Euna lalu kembali ke dapur untuk menyiapkan makanan. Setelah selesai, Euna segera duduk di hadapan Jimin dan mulai menyantap makanan paginya.
"kau hari ini pergi ke butik?" tanya Jimin memecah keheningan yang tercipta diantara mereka. Euna mengalihkan tatapan matanya ke arah Jimin sebelum menjawab pertanyaannya.
"entah, mungkin hanya sebentar untuk mengontrol keadaan butik. Selebihnya aku percaya pada orang kepercayaanku." jawab Euna sembari menyuapkan makanannya ke mulutnya.
Jimin hanya mengangguk mengerti akan penjelasan Euna. Ia tidak mengenal Euna, pembicaraan mereka hanya seputar pekerjaan. Tidak ada yang ingin memulai bertanya tentang diri masing masing.
Jimin masih belum berani bertanya tentang Euna lebih jauh. Jimin paham kalau Euna butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengannya. Jimin tidak ingin Euna merasa tidak nyaman dengannya.
Jujur saja saat pertama kali ia melihat Euna di club itu, Jimin kagum akan Euna. Seperti ada sesuatu yang membuat Jimin tertarik dengan Euna. Wajah angkuh Euna dan aura dominan Euna yang Jimin rasakn saat itu mampu membuatnya penasaran dengan Euna. Sampai sebuah kecelakaan itu terjadi. Membuat Jimin harus menikah dengan Euna.
Jimin tidak pernah keberatan menikah dengan Euna. Karna jujur saja, Jimin tertarik pada Euna. Seiring berjalannya waktu, Jimin menyadari kalau ia menyayangi Euna. Terbukti dari saat ia mengunjungi Euna untuk pertama kali saat vidio itu mulai tersebar di media sosial. Jimin melihat Euna yang frustasi saat itu. Dan itu berhasil membuatnya merasa sesak. Jimin paham, ini semua terjadi karna rencana busuk temannya-yang juga merupakan teman Euna. Tapi Jimin sadar, kalau ia juga bersalah. Andai saat itu ia lebih bisa mengendalikan diri lagi. Andai ia mau mengantarkan Euna yang sudah mabuk untuk pulang, bukannya menuruti keinginanya. Ya, semuanya hanya seandainya. Nyatanya takdir membawa mereka kepada hal yang lain.
Sadar kalau Jimin hanya melamun dan menghentikan aktifitas sarapannya, Euna perlahan mengangkat kepalanya dan menemukan Jimin yang sedang menatapnya.
"melihat apa? Habiskan sarapanmu." ujar Euna cepat sembari melanjutkan sarapannya.
Jimin yang terkejut karna suara Euna pun hanya tersenyum tipis. "baiklah sayang."
Sayang. Sebuah kata yang mampu membuat Euna merinding untuk kesekian kalinya. Ada perasaan aneh dalam diri Euna saat Jimin mengatakan kata itu. Seperti mampu menyengat sedikit hati bagian dalamnya untuk bereaksi.
Hanya aja suara dentingan sumpit yang beradu dengan piring sebelum akhirnya ponsel Jimin berdering, memecah keheningan yang belum lama tercipta di meja makan itu.
Ha neul's calling...
Jimin yang mihat nama pemanggil itupun segera bangkit dari duduknya untuk mengangkat panggilan itu. "aku angkat sebentar." ucap Jimin sembari menjauh disertai anggukan Euna.
Jimin segera mencari tempat yang cukup jauh untuk mengangkat panggilan tersebut. Setelah cukup aman, Jimin segera mengangkat panggilan tersebut.
"yeoboseyo? Ada apa menelfon? Ada sesuatu yang penting?"
"..."
"aku akan segera kesana, jangan khawatir. Tunggu aku 15 menit lagi."
"..."
![](https://img.wattpad.com/cover/208155529-288-k136151.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny
Fanfiction"semua ini berawal dari kesalahan. Kesalahan yang seharusnya tidak terjadi. Aku tidak mencintaimu. Aku membencimu brengsek!" Shin Euna "ketahuilah, aku bersyukur kesalahan itu melibatkanku dan dirimu. Karna kesalahan itu aku mengenalmu. Dan, kurasa...