22. She's Gone.

1.5K 148 45
                                    

Jujur saja, setelah pergi dengan tidak pamit pada Euna, Jimin merasa khawatir. Ia menjadi tidak tenang. Jimin memutuskan untuk pulang secepat mungkin. Ia benar-benar terlalu lelah sampai terbawa emosi.

Jimin lantas membuka pintu rumahnya dan segera berjalan ke ruang tengah tapi tidak menemukan Euna. Ia melihat di dapur sudah tersedia makanan yang dibuatkan Euna. Asisten rumah tangga mereka memang tidak bekerja di hari libur. Itu bertujuan agar mereka bisa mendapat waktu berdua, dan lagipula Jimin bisa menjaga Euna.

Jimin segera berlari ke kamar mereka saat ia tidak menemukan Euna di lantai bawah rumahnya.

Saat Jimin membuka pintu kamar, ia bisa melihat Euna yang tengah tertidur lelap di balut dengan selimut hangat. Entah kenapa itu membuat Jimin tenang. Ia segera menghampiri Euna dan mencium kening Euna, berharap ia tidak mengganggu tidur Euna.

"maafkan aku."

***

Jimin pikir semua akan baik-baik saja. Tapi sungguh, sudah hampir satu minggu Euna menghindari Jimin. Hanya berbicara saat ada perlunya saja. Jimin bahkan hampir frustasi karena hal itu. Ia takut kalau ia juga akan terbawa emosi saat berbicara dengan Euna. Bagaimanapun juga, emosi Euna memang sering berubah, dan Jimin harus paham itu.

"hari ini jadwalmu check up kan? Ayo, biar aku yang antar." ucap Jimin sembari memakai arloji di tangannya.

"tidak usah. Aku bisa sendiri." tolak Euna sembari bersiap menggunakan mantelnya.

"untuk yang satu ini, aku harap kau tidak menghindar. Dia juga anakku, aku harus tau perkembangannya." ucap Jimin tegas.

Euna benar-benar merasa jengah, ia hanya diam saja dan mengikuti Jimin ke arah mobil mereka.

***

Semua pemeriksaan sudah selesai dilakukan. Dan semua hasilnya baik, perkembangan janin yang Euna kandung juga baik, Euna juga sempat berkonsultasi tentang masalah yang sering mengganggunya, dan dokter mengatakan kalau hal itu normal.

"ada yang ingim dibeli?" tanya Jimin sembari fokus memegang stir.

"tidak usah, langsung pulang saja." tolak Euna. Padahal sejujurnya banyak yang ingin Euna beli. Ia belum belanja bulanan, dan ia rasa beberapa bahan dapur sudah akan habis. Tapi tentu saja, ego mengalahkan segalanya.

Jimin yang berpikir Euna lelah pun akhirnya hanya mengangguk dan bersiap memutar arah.

Entah apa yang terjadi, tapi jalanan sangat ramai. Dan hal itu semakin membuat Euna kesal. Itu tandanya ia harus terjebak lebih lama lagi dengan Jimin.

Euna memutuskan untuk melihat keluar jendela sambil sesekali mengusap perutnya. Dan jujur saja, saat dokter mengatakan kalau janin yang Euna kandung akan mulai menendang karena sudah berusia 24 minggu, itu benar-benar membuat Euna senang. Ia benar-benar menantikan saat-saat itu.

Setelah melewati beberapa titik kemacetan, akhirnya mereka tiba di rumah. Euna langsung berjalan masuk begitu saja.

Jimin sebenarnya sudah sangat jengkel dengan sikap Euna. Ia merasa Euna sedikit kelewatan. Mungkin saat itu ia memang salah, tapi harusnya Euna juga mengerti dan tidak memperburuk suasana.

"Euna-ya, aku ingin bicara." pinta Jimin sembari memegang pergelangan tangan Euna dan menuntunnya ke sofa.

"mengapa kau mengabaikanku? Aku minta maaf karena sudah membentakmu saat itu. Aku hanya kelelahan, banyak hal yang harus aku pikirkan. Aku mohon maafkan aku." pinta Jimin lembut.

Euna juga tidak mengerti, tapi ia masih merasa kesal. "tidak usah seperti itu."

Jujur saja, Jimin merasa kesal karena jawaban Euna. Ia hanya ingin memperbaiki hubungan mereka, tapi Euna selalu saja membangun tembok besar di antara mereka.

DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang