16. Cinta Ravin

4.8K 356 12
                                    

Alexa berhenti di pinggir jalan yang sepi. Tubuhnya benar-benar sangat lemas, untuk menyetir saja ia sudah tak punya tenaga.

Gadis itu menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi. Dengan mata tertutup, tangannya bergerak untuk mencari ponsel yang berada di kursi sebelah.

Alexa membuka matanya, mencoba mencari nama seseorang untuk ditelpon agar datang menjemput. Orang yang tepat adalah Damian.

"Please help me. Now!"

Alexa kemudian memutus sambungan, dirinya sudah tak mampu bertahan lagi. Biar saja Damian mencarinya sendiri, ia sudah mengaktifkan JPS di ponsel. Pria itu pasti tau keberadaanya.

Gadis itu mencoba mengatur nafas dan kembali memejamkan mata, membiarkan kegelapan berangsur-angsur merebut kesadarannya.

***

Mata itu mengerjap beberapa kali, berusaha untuk menyesuaikan cahaya. Hal pertama yang ia lihat adalah wajah Damian yang tampak berseri-seri. Mungkin karena senang dirinya sudah sadar.

Alexa langsung bangun terduduk saat mengetahui dirinya ternyata berada di rumah sakit. Ia menatap Damian dengan tajam seolah memerintahkan pria itu untuk segera menjelaskan semuanya.

Damian hanya tersenyum kecil kemudian menepuk-nepuk puncak kepala Alexa dengan sayang. "Akhirnya kamu sudah sadar," ucapnya.

"Kenapa harus ke tempat ini?! Cukup bawa aku ke rumah!" ucap Alexa dengan sinis.

"Aku khawatir, Alexa. Kamu ditemukan dengan kondisi yang gak baik-baik saja," jelas Damian.

Alexa diam. Ia tau apa yang terjadi padanya. Damian pun pasti sudah mengetahuinya dari dokter. Untuk saat ini, Alexa tidak mau mendengar apapun tentang hal itu.

Pria dewasa itu menatap Alexa dengan tulus. "Kamu akhir-akhir ini terlalu banyak berfikir. Kamu juga belakangan ini banyak kegiatan. Akibatnya, tubuhmu jadi lemah karena kelelahan. Istirahatlah untuk beberapa hari, Alexa."

Alexa menatap Damian dengan sendu. "Cuma itu? Dokter bilang aku kaya gini cuma karena kelelahan, kan?" harapnya.

Damian menggeleng seraya berucap pelan, "sayangnya, tidak."

Alexa menghembuskan nafas kasar. "Sial! Kenapa harus disaat-saat seperti ini?! Kenapa dia datang di saat semua dendam ini hampir tercapai!"

"Aku punya saran," ucap Damian. "Gimana kalau kamu lupakan aja dendam itu. Hiduplah seperti remaja normal, hidupmu terlalu berharga jika hanya diisi dengan membalas dendam," lanjutnya.

Alexa tertawa sinis. "Aku sudah hampir menang. Seorang Alexa gak akan menyerah sebelum semuanya terbalaskan!"

"Dengan kondisi seperti ini?" sarkas Damian.

"Sebelum aku mati, aku pastikan dia yang lebih dulu menjemput ajalnya!"

***

"Hallo?"

"Del, lo di mana?"

"Di rumah, kenapa?" Jelas Alexa berbohong, padahal ia masih berada di rumah sakit. Matanya melirik Damian yang terlihat tengah tersenyum menggoda.

"Del, jangan lupa nanti jam 12 lo harus siap-siap. Bakalan ada wawancara sama briefing di sana." ucap Ravin menjelaskan.

"Hari ini?" bingung Alexa.

"Kau tidak sadarkan diri selama 15 jam, baby," ucap Damian dengan sengaja menekan kata terakhir, padahal ia tau telepon Alexa masih tersambung pada Ravin.

"Del, itu suara sia- "

Tutt

Alexa memutus sambungan secara sepihak. Matanya melotot menatap Damian. "Kenapa gak bilang?!"

Sekarang ia harus pulang. Ibunya sendirian di rumah dan lagi, ia harus segera bersiap-siap untuk pergi.

"Kamu masih harus istirahat! Batalkan saja acara tidak penting itu!" tutur Damian dengan gampangnya.

"Gila lo, mau bikin gue malu?!" kesal Alexa.

Dengan gerakan cepat Alexa melepas infus yang melekat di punggung tangannya. Ia buru-buru menuruni tempat tidur dan merapikan penampilannya tanpa perduli jika tangannya kini mengeluarkan darah.

"Lexa, kondisi kamu ma- "

"Aku gak selemah itu!" sentaknya memotong ucapan Damian.

Alexa pergi meninggalkan ruangan itu tanpa peduli dengan Damian yang kini sudah mengepalkan kedua tangannya.

***
Ravin memperhatikan gadisnya dari jauh. Ia masih memikirkan suara pria yang terdengar di telepon tadi. Mereka sepertinya sangat dekat hingga Alexa langsung memutus sambungan saat ia ingin memastikan kebenarannya.

Apalagi pria itu memanggil kekasihnya dengan sebutan baby. Apa gadis itu sudah berselingkuh di belakangnya? Apa ini alasan Alexa selalu meyakinkan dirinya untuk tidak meneruskan hubungan mereka? Apa yang kurang dari Ravin hingga Alexa bisa berpaling darinya?

"Lexa kalau dekat mereka jadi kaya anak SD, ya?" ucap Kevin terkekeh kecil melihat Alexa yang dikelilingi teman satu timnya.

"Jelas. Mereka bule, badannya bagus-bagus dan tinggi," jelas Kelvin.

Kini mereka bertiga tengah duduk di tribun penonton untuk menyaksikan Alexa yang bertanding. Meski terlihat kecil di antara perempuan bule disekelilingnya, semua tak bisa menolak keahlian gadis itu dalam bermain.

Alexa cepat dan tangkas, orang yang memiliki tubuh kecil memang terkenal lincah, begitupun Alexa. Bahkan tim lawan terlihat kewalahan menghadapi gadis itu. Perpindahannya sangat cepat, bahkan beberapa pemain sempat terkejut melihat Alexa yang tiba-tiba berada di sebelah mereka.

Kelvin, Kevin, dan Ravin sama-sama bersorak gembira saat babak pertama dimenangkan oleh tim Alexa. Mereka turun menghampiri Alexa yang tengah ber-highfive bersama timnya, kemudian gadis itu pamit untuk menemui teman-temannya.

"Minum dulu, Del." Ravin mengulurkan sebotol air mineral pada Alexa.

Kelvin membantu mengusap keringat Alexa yang bercucuran menggunakan handuk kecil. Sedang Kevin memperbaiki kuncir rambut Alexa yang sudah tak beraturan.

Pak Sam datang memberi semangat serta pujian pada Alexa. Gadis itu hanya bergumam membalas perkataan Pak Sam karena masih kesal dengan gurunya itu.

"Gue ke toilet dulu," pamitnya pada teman-temannya. Tanpa peduli jika masih ada Pak Sam di sana.

"Gue temenin, Del," tawar Ravin.

"Gak usah, gue bukan anak kecil yang bakal ilang cuma karena pergi ke toilet!"

"Yaudah, jangan lama-lama."

Ia pergi. Bukan, bukan pergi ke toilet seperti yang ia katakan pada yang lain. Alexa berbelok sedikit kearah ruang ganti. Setibanya di sana, ia langsung membuka tasnya dan mengambil benda dari dalam sana.

Obat.

Alexa minum sebanyak dua butir, menelannya tanpa bantuan air. Ia menatap pantulan dirinya di cermin. Sampai kapan ia akan begini?

Tak ada yang tau tentang dirinya kecuali Damian. Tentang dendamnya, kondisi Ibunya, bahkan isi hatinya. Pria itu tau semuanya.

Ia dan Damian sudah bagaikan seorang keponakan dan paman. Damian yang dulunya adalah sahabat Ibunya, kini telah menjadi sahabatnya juga. Damian lah tempat Alexa menuangkan semua rasa yang tak ingin ia perlihatkan pada orang lain.

Maka dari itu, meski umur Damian jauh di atasnya, Alexa tak pernah memanggil pria itu dengan embel-embel yang terkesan menghormati orang yang lebih tua.

Bukannya tidak sopan, wajah Damian masih terbilang muda di umurnya yang sudah tidak muda. Pria itu juga terlihat tidak memperdulikan perlakuan Alexa yang seperti itu.

Damian perhatian, ia baik dan tegas secara bersamaan. Alexa merasa terlindungi jika berada di dekat pria itu.

Bahkan karena sangking dekatnya mereka. Damian tau jika ia, Adelia Alexandra Geonardo sangat mencintai orang yang seharusnya tak ia cintai.

Ravindra Kenzo Michael.

23 Desember 2019

Bad Girl (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang