Beberapa hari kemudian.
Alexa kini telah siap. Siap untuk pergi dan siap untuk menerima semua kenyataan yang akan ia dapatkan nanti. Ia sudah memantapkan hatinya untuk memilih jalan ini. Jalan terbaik untuk dirinya.
Menunggu Damian datang menjemput, ia menatap kosong ke depan memikirkan berbagai macam kejadian yang ia prediksi akan terjadi pada dirinya.
Pagi ini, ia dan Damian akan pergi ke rumah sakit. Setelah kepergian sang Ibu tubuhnya jadi semakin hari semakin tak bisa ia kendalikan. Tubuh yang selama ini selalu terlihat baik-baik saja sebenarnya adalah yang paling lemah.
Alexa pernah memiliki penyakit sirosis, penyakit kerusakan pada hati. Namun, tak separah sekarang karena sering meminum minuman beralkohol serta merokok.
Saat tau jika orang yang dicintainya tak bisa ia miliki. Kabar itu semakin membuatnya ingin mempercepat saja kematian ini.
"Kenapa melamun?"
Alexa tersentak saat tak sadar jika Damian sudah berdiri di hadapannya. Pria itu tersenyum menenangkan.
"Semua sudah berakhir. Sekarang, pentingkan kesehatanmu saja," tutur Damian.
Alexa hanya mengangguk kemudian berjalan menuju ke arah mobil Damian. Ia masuk lebih dulu di susul oleh sang pemilik kendaraan.
"Hari ini kamu harus menjalani beberapa pemeriksaan fisik dulu. Mungkin kamu akan menginap di sana sampai operasinya tiba," jelas Damian.
Sekilas ia menoleh menatap reaksi Alexa kemudian kembali fokus menyetir. Tak ada ekspresi apapun yang ditunjukkan gadis itu, matanya hanya tertuju pada jendela mobil.
"Alexa," panggil Damian. "Joshua harus tau keadaanmu," tuturnya.
"Gak perlu! Dia bukan siapa-siapa. Gak ada yang boleh tau ini selain kamu," balas Alexa sengit.
"Tapi mau bagaimanapun dia adal- "
"Gue gak peduli! Kalau sampai mereka tau, gue gak akan mau berjuang lagi untuk tetap hidup. Ingat Damian, operasi ini gue lakuin demi Lo. Kalau bukan karena Lo yang udah benar-benar gue anggap seperti keluarga, hari kematian gue pasti sudah berlangsung sehari setelah Mama pergi!"
"Ini masalah serius Alexa. Tak ada yang bisa disembunyikan jika sudah menyangkut dengan nyawa."
"Bisa! Kalau Lo tetap tutup mulut, pasti bisa."
Akhirnya Damian memilih mengalah, berdebat dengan Alexa memang tak akan ada habisnya. Lebih baik ia fokus menyetir daripada harus beradu mulut yang mengakibatkan masalah berkepanjangan.
Tapi Damian tak akan mau tutup mulut.
***
Seiring berjalannya waktu, Alexa sudah benar-benar bukan dirinya lagi. Gadis itu lebih banyak melamun dan tak mau melakukan apapun.Namun, hari ini Damian memaksanya untuk keluar mencari udara segar. Pria dewasa itu sudah seperti seorang Ayah, merawat Alexa dan menjaganya dengan penuh perhatian.
"Mencari udara segar sebelum operasi mungkin lebih baik daripada hanya diam di kamar inap," ucap Damian.
Pria itu berhenti di taman rumah sakit, membantu Alexa turun dari kursi rodanya dan duduk di bangku taman.
Dengan penuh kasih sayang, Damian mengusap lembut kepalanya. Memberi perhatian yang tak pernah ia dapatkan dari seorang Ayah. Gadis itu terpejam nyaman menyandarkan kepalanya di bahu Damian.
"Ponselmu terus bunyi, mau bicara dengan mereka, Alexa?" tanya Damian hati-hati.
Gadis itu membuka matanya, menatap kosong seolah tengah menerawang sesuatu. "Siapa?"
"Teman-temanmu, mereka mencari mu terutama Ravin ... ," jelas Damian. "Dan Ayahmu," sambungnya.
Alexa tertawa pelan. Tangannya meraih ponsel yang diberikan oleh Damian.
"Mau apalagi dia!"
Telepon ia sambungkan, jarinya mengetuk-ngetuk paha Damian dengan cepat menunggu sambungan terhubung.
"Ada apa?!"
"Alexa? Kamu dimana, Nak? Daddy kemarin berkunjung tapi kalian tidak ada."
Gadis itu tersenyum sinis. "Tumben baik? Pasti Lo perlu sesuatu, kan? Gue gak akan Sudi!"
"Alexa, saya minta maaf."
"Gue gak butuh maaf Lo! Jangan hubungi gue lagi mulai sekarang!"
"Oke, tapi biarkan saya bertemu Mamamu untuk terakhir kalinya."
Kali ini gadis itu tertawa kencang. "Untuk apa?! Lo bukan siapa-siapa, keberadaan Lo di dunia ini gak pernah dibutuhkan, gak ada yang mau ketemu sama Lo, brengsek!"
Nafas gadis itu mulai memburu, ia masih sangat membenci Ayahnya ini. Padahal sudah beberapa kali ia coba untuk melupakan semuanya, namun tetap saja Alexa tak bisa.
"Maafkan saya, tolong biarkan saya bertemu Ibumu. Kita bicarakan semuanya secara baik-baik. Saya menyesal telah melakukan semua hal buruk itu pada kalian. Tolon- "
"Mama gue udah meninggal, Puas Lo! Kalian senang, kan? Mama pergi, gue menderita! Lo senang, kan? Dasar sialan!"
Alexa memutus sambungan, air matanya lagi-lagi mengalir deras hanya dengan mengingat sang Ibu.
Damian masih dengan setia mengusap punggung Alexa agar gadis itu bisa sedikit tenang.
"Tolong tinggalkan aku sendiri, Damian."
"Tidak, aku takut kamu melakukan hal nekat," tolak Damian.
"Aku gak segila itu! Sekarang tinggalkan aku dulu, datang lagi setelah 30 menit, please."
Setelah menghela nafas berat, akhirnya Damian mengangguk setuju. Ia memastikan posisi Alexa sudah benar-benar nyaman sebelum pergi.
Di perjalanan menuju ruang inap Alexa, Damian tak sengaja melihat Joshua Michael dan anaknya Ravin sedang berdiri panik di depan ruang UGD.
Joshua Michael melihatnya juga, pria itu melemparkan senyum hangat pada Damian. Akhirnya mau tak mau Damian pun datang menghampiri mereka.
Tiba-tiba Joshua Michael berlutut di depannya. "Tuan Damian, hanya Anda lah harapan kami satu-satunya. Istri saya mengalami kecelakaan. Kami tak punya cukup uang untuk membayar biaya rumah sakit. Tolong kami Tuan, sebagai gantinya saya akan bekerja menjadi apapun yang Anda perintahkan di Perusahaan Anda secara gratis."
Damian cukup terkejut dengan perlakuan Joshua yang tiba-tiba, ia berdehem sebentar kemudian membantu Joshua berdiri.
"Maaf Tuan, tapi perusahaan itu bukan milik saya. Jika ingin, Anda bisa memintanya sendiri pada Nona Adelia. Dia ada di sana," tunjuknya pada Alexa yang duduk membelakangi mereka.
"Biar aku aja Dad yang ke sana," pinta Ravin.
"Jangan terlalu menuntutnya, ia harus baik-baik saja sebelum operasinya berlangsung nanti," saran Damian.
Cowok itu mengangguk paham kemudian berlari dengan cepat menuju Nona Adelia. Tiba di sana ia mengatur nafasnya yang terengah-engah, kemudian tangannya terulur untuk memegang bahu Alexa.
"Nona Adelia?" tanya Ravin.
Gadis itu terlihat menghindari kontak wajah dengannya, membuat Ravin merasa aneh. Ia berjalan pelan mengelilingi bangku taman.
"Tante, kenapa pakai baju pasien? Tante sakit apa?"
Karena merasa penasaran dengan tangan tingkah aneh Nona Adelia. Ravin pun mengangkat dengan paksa dagunya kemudian menyibak rambut panjang Adelia.
"Alexa?!"
¥¥¥
Karena udah double up, kalian wajib vote 😁
Komen juga biar bisa up cepet👍
Yang selama ini udah vote dan komen, Loveyou😉Salam sayang
Ravin Alexa❤️26 Februari 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Girl (Selesai)
AléatoireHighest rank : #761 of 145k in teenfict [16/01/2021] #192 of 20,5k in bad girl [19/04/20] #178 of 36,6k in Indonesia [25/01/2021] #101 of 14,3k in couple [16/1/2021] Ini cerita tentang Alexa dan kehidupannya. Bagaimana Ravin, sang kekasih begitu men...