31. Perusak (End)

8.3K 457 15
                                    

"Alexa! Jangan gila!" teriak Ravin.

Gadis itu mengabaikannya, ia masih berdiri memandang mobil-mobil yang terlihat kecil dari atas gedung rumah sakit.

"Alexa! Dasar cewek bego, turun gak Lo!" marah Ravin. Ia takut gadis itu berbuat nekat.

Bahu Alexa bergetar menandakan gadis itu tengah menangis. "Gue malu," lirihnya.

Hap

Ravin berhasil meraih tangan Alexa, menariknya hingga jatuh ke pelukan cowok itu.

"Gue malu, Vin," ucap Alexa menangis memeluk Ravin. "Gue malu sama kalian, gue udah ngancurin keluarga kalian tanpa sebab, gue udah buat kalian menderita padahal kalian gak salah apa-apa."

Ravin semakin mengeratkan pelukannya, ia mengusap punggung gadis itu agar sedikit tenang. "Lo gak salah, Del. Semua udah ditakdirkan sama Tuhan, bokap gue bangkrut itu udah diatur sama Tuhan dan mungkin caranya melalui Lo."

Alexa menggeleng. "Gue yang salah hiks, gue malu. Gue gak berani buat ketemu bokap Lo lagi," ucapnya sesenggukan.

"Daddy gak apa-apa, kok. Buktinya, dia gak marah kan sama Lo. Daddy ngerti dengan apa yang Lo rasain. Dan soal Damian, Lo jangan marah ya sama dia. Damian sayang banget sama Lo, dia juga baru tau kalau ternyata Lo anak kandungnya."

Alexa mengurai pelukan, mengusap air matanya dengan kedua tangan sambil mengangguk bagai anak kecil yang baru saja dimarahi Ibunya.

Ravin gemas.

"Tapi gue tetep malu," bisik Alexa.

"Malu kenapa? Lo masih pakai baju, kan."

"Bukan itu!" kesal Alexa. "Gue malu sama nyokap Lo," gumamnya lagi.

Pandangan mata Ravin meredup. Bagaimana ia bisa menguatkan Alexa jika menyangkut sang Ibu, sedangkan dirinya masih belum bisa menerima kepergian Ibunya.

Alexa seketika tersadar dengan apa yang ia katakan. Gadis itu kembali memeluk Ravin, mengusap punggung cowok itu seperti yang dilakukan Ravin padanya tadi.

"Gak usah sedih. Lo sendiri yang bilang kalau semua itu udah takdir dari Tuhan. Gue salut sama Lo, saat nyokap Lo pergi, Lo masih bisa tegar. Mau tau gak reaksi gue waktu mama pergi? Gue setres, gak mau makan, gak mau ngomong, sampai Damian aja nyerah," jelas Alexa dengan suara yang mulai bergetar.

Tak terasa air matanya menetes kembali. Namun, gadis itu masih berusaha untuk tersenyum. "Gue udah kaya orang gila ngurung diri di kamar sampai berhari-hari. Gue sedih banget, gue ngerasa semua orang menjauh. Waktu itu kita udah putus, jadi gak ada lagi tempat gue ngelampiasin emosi. Kevin sama Kelvin juga menjauh karena mereka emang temenannya sama Lo. Gue bingung, cuma Damian yang ada. Dan dia malah buat gue tambah pusing karena terus ngoceh."

Ravin menatap sendu gadisnya. Ternyata, ada yang lebih menderita daripada dirinya. Ia beruntung karena masih memiliki Ayah yang selalu menguatkannya. Gadis ini bahkan tak memiliki siapa-siapa.

"Maaf," ucap Ravin. Tangannya menghapus air mata yang ada di pipi gadis itu. "Maaf karena gue gak ada di sisi Lo saat Lo butuh gue," sesal Ravin.

Alexa mengangguk. "Gue yang salah," ucapnya dengan senyum tulus. Namun, tiba-tiba senyum itu menghilang digantikan dengan tatapan tajam. "Maksud Lo tadi apa ngatain gue cewek bego?!"

Ravin menutup rapat bibirnya, ia hanya ingin berjaga agar tawanya tidak meledak. Ekspresi Alexa memang seperti orang marah, tapi jika dibarengi dengan hidung yang memerah serta mata sembab, bukannya takut, Alexa malah terlihat lucu.

"Iya, Maaf juga untuk hal itu. Gue takut Lo nekat," jujur Ravin.

Alexa menghela nafas berat. "Gue gak segila itu, Vin. Otak gue masih bisa digunakan untuk berfikir. Gue cuma mau cari ketenangan, kalau gue pergi keluar dari rumah sakit pakai baju pasien, ntar gue dikira kabur."

Bad Girl (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang