-; se lamenter

387 60 3
                                    

"Beneran? Ga boong kan?"

Aku menggelengkan kepalaku, "Yeah it's totally okay, Jemi," aku tertawa pelan.

iya maaf ketawa mulu ish.

kan berpura-pura seolah gaada yang terjadi.

"We good?" Ia menjulurkan tangannya. Mengajakku untuk tos.

"We're great," aku mendaratkan telapak tanganku di telapak tangannya.

"Gimana tadi sesi tanya jawabnya?" Tanya Corbyn saat kami berdua berjalan pulang dari tempat bermain tadi.

"Pala lo tanya jawab ah, Byn."

"Bodo pokoknya itu. Gimana?" Ia meneguk coca cola dingin yang kubelikan untuknya.

"Dia udah pacaran sama Abbey, Byn."

Ia tersedak. Sodanya tumpah keluar bagai air terjun dari mulutnya. Kurasa hidungnya terasa pedas dan tenggorokannya gatal sekarang.

"Hgahjk ahlk ghlahk. Lu serius, Haz?"

"Serius njing. Kualat kan lu ga percaya omongan gue."

"Ya kan gue ga percaya. Kaget aja gitu dengernya. Eh hape lo bunyi mulu daritadi deh. Masa lu gasadar sih?"

"Biarin, paling juga Zach."

"Dih masa?"

nah, kan. ga percaya lagi kan.

Ia mengambil handphoneku dari saku celana belakangku.

untung pake straight jeans.

i've never loved skinny jeans.

"Tangannya nakal."

"Abisnya gue jengkel bunyi mulu. Napa ga di silent sih?"

Aku menggeleng dan mengangkat bahu.

"Yaudah siniin hapenya. Buruan pulang ayo ah. Gasabar buat meratapi kesedihan."

Tisu-tisu berceceran di lantai kamarku. Aku meluapkan semuanya malam ini. Dan tidak, Corbyn tidak menemaniku kali ini. Mungkin ia lelah menghadapi tingkah lakuku yang dapat dibilang lumayan menyebalkan untuknya. Yah, aku dapat memaklumi itu.

bip bip

aku mematikan panggilan masuk tersebut.

aku hanya ingin meluapkan emosiku.

tuk tuk tuk

kok ganggu sih ajg.

kriieett..

"Mom jangan mas-"

kukira mom udah pulang ternyata..

"Lo kemana aja? Kok dihubungi gabisa mulu?"

oh crap.

"Ga liat? I'm in the bad mood," aku mengusap hidungku dengan keras dan cepat. Tak lupa menunjukkan bekas tangisan di pipiku ini.

Dia membuka tangannya lebar lebar.

"Free hugs."

"Ogah ah lo jelek," aku merekatkan tudung kepalaku dan membaringkan tubuhku di ranjang yang kududuki ini.

"Lo napa? Ayo cerita lah."

"Gausah ngardus. Gue lagi males ngadepin orang sekarang."

Zach terdiam. Hiyalo skakmat.

"Mending lo keluar sekarang daripada lo jadi korban pelampiasan emosi gue, Zach."

Pandangannya mengarah ke bawah. Ia menghembuskan nafasnya, "Get better. Love you."

Ia mengusap kepalaku dan berlalu pergi keluar dari kamarku.

He doesn't really mean it, right?

Mengetahui keberadaannya sudah benar-benar tidak ada, aku bangkit dari fase rebahanku.

Aku berjalan untuk menyalakan speakerku dan memutar playlist sedihku.

like that—bea miller

asik lah ada beat beatnya.

Sementara lagu terputar, aku membersihkan semua tisu yang berceceran di lantai kamarku.

Seperti biasa, aku menemukan hal aneh di dalam kamarku. Tepatnya terletak di bawah meja belajar.

Ada secarik kertas yang terselip di antara alas meja dan lantai.

Dengan hasrat penasaranku, aku menarik kertas tersebut keluar dari tempat persembunyiannya dan membukanya.

Apa-apaan ini? Polos doang kok.

Ga. Ga mungkin polos doang. Pasti ada sesuatu.

But i can't see anything.

Yaudah lah, cari tau lain kali aja.

Aku meletakkan kertas tersebut di atas meja belajarku.

krieett

"gosh, stop it. oh my g-zach. what are you doing here? again? seriously?"

Zach hanya tersenyum dan memberikan sekantong plastik yang penuh dengan snack padaku.

Aku menerimanya dan meletakkannya ke lantai kemudian memeluknya.

ya gimana ga peluk, dia peka banget sih hehe.

"You can tell me anything," ucapnya dengan menaruh hidungnya di pundakku.

Aku hanya mengangguk saja.

Gatau mau seneng apa sedih. Seneng punya banyak makanan, sama sedih gara-gara kejadian tadi siang.

"Later, Zach. I wanna eat em all."

2019 ©️ jal0ux

𝐟𝐨𝐫𝐠𝐨𝐭𝐭𝐞𝐧 | djsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang