dua puluh sembilan

119 7 0
                                    

Sesampainya di apartemen, Alif langsung memasuki kamar nya. Kamar yang sudah hampir tak pernah dimasukinya karena ada Zahra. Ia lihat sekarang seprei ranjang ini sudah berwarna pink. Tak lagi abu dan putih. Alif berbaring diatasnya. Harum wangi Zahra menyeruak. Alif memejamkan matanya. Memikirkan semua hal yang memang harus ia siapkan. Termasuk pernikahan nya dengan Zahra. Jika memang ini waktunya berakhir, maka Alif akan merelakan semuanya.

Alif mengerti dan sadar betul posisinya disini. Ia sadar betul bagaimana Wira masih akan terus mengisi hati Zahra. Sekalipun ia mengatakan ia sudah jatuh hati sejak pertama kali bertemu dengan nya. Tapi rasanya tak akan merubah apapun untuk kehidupan Zahra. Pikiran tentang Zahra membuat nya juga lelah, ia bangkit dan membuka laci lemari. Melihat buku tabungan dan kartu emas itu. Pikiran nya berkelana jauh memikirkan apapun yang menurutnya sangat penting.

Kemudian diambilnya koper besar. Baju Alif yang berada di lemari pakaian ia keluarkan, ia susun di koper besar itu dan kemudian ia ambil lagi dua koper kecil. Ia kemudian membuka laci meja rias, melihat Al-Qur'an berwarna biru, dikeluarkan nya bersama paspor, visa dll yang diperlukan.

Setelah nya Alif melihat koper ungu milik Zahra. Koper itu masih disini dan Alif masih belum berhasil membawa Zahra kembali tinggal di sini. Alif diam melihat sedih kehidupan nya. Zahra Meninggalkan Alif sendiri di apartemen ini. Diam, hening, sepi dan pikirannya makin terbang jauh berkelana pada banyak sekali kejadian yang membuatnya merasa semakin di rundung kesedihan tak berkesudahan. Bayangan itu kembali datang lagi pada nya.

Flash back on

"Aku malu mbak punya adik aneh kayak dia. Cara dia nulis dan beraktivitas kayak orang gila. Semua yang dia lakukan aneh. Dia buat malu aku sama temen temen."

"Gak boleh begitu, dia tetap adik kita. Kamu berbicara seperti ini janga keras keras nanti Alif dengar, ini sangat menyakitkan hati nya nanti."

"Mbak gak ngerasain jadi aku seperti apa, jdi mbak gak usah nyeramahi aku. Bahkan papi juga malu punya anak aneh seperti dia. Dia buat malu semua orang yang kenal dia. Aku benci dia mbak."

Alif mendengar sangat jelas kata menyakitkan itu. Ia menitihkan air matanya, berjalan masuk ke kamarnya. Menangis sendirian di bawah guyuran shower. Ia melihat tangan kirinya dengan sedih, tangan ini ia gunakan lebih sering dari tangan kanan tapi karena itu semuanya menjadi seperti ini.

"Loh mbak kok disini" ucap Alif tersenyum, ia kaget karena baru saja keluar dari kamar mandi

"Gimana sekolah baru kamu. Mbak dan mas Furqon dari SD udah disitu jadi enak banget rasanya"

Alif menggeleng kuat ia tak suka berada disana. Tak suka dengan banyak peraturan yang aneh baginya. Tak suka dengan temannya yang pada sombong membanggakan harta orangtua, tak suka dengan sok kecantikan nya perempuan disana.

"Lohh kenapa dek! Ada yang buat kamu

"Mereka semua aneh mbak atau aku yang aneh. Yang jelas aku gak cocok ada disana. Aku mau ke sekolah negri aja. Lebih seru juga"

"Tapikan dek, kita disana supaya mbak bisa mantau kamu dan mas f-"

"Aku bisa jaga diri sendiri mbak, gak berkah ilmu nya kalau papi masukin aku ke sana terpaksa karena permintaan mami"

Alif melihat ada raut kesedihan yang terpancar dari wajah mbak nya. Mbak yang mirip sekali dengan mami. Lembutnya, hangatnya dan senyumnya.

Setelah itu mbak Aisyah keluar dari kamar Alif, meninggalkan Alif sendiri

"Papi aja udah buang aku mbak, gimana aku bisa tetep ada disana. Papi juga malu punya anak kayak aku, gimana bisa aku tetap disana." Gumam Alif sendirian di dalam kamarnya.

Flash back off

Alif tertidur pulas di kasur ini. Sampai pagi datang, ia tersentak. Sholat shubuh pertama nya yang kesiangan. Menangis, jelas! Alif menangis sejadinya meninggalkan sholat shubuh. ia segera bergegas ke kamar mandi dan membasuh seluruh tubuhnya dengan air dingin. Setelah nya ia sholat shubuh dan sholat Taubah memohon ampun pada Allah.

Jam sembilan pagi, Alif termenung duduk di pantry, biasanya Zahra masak Ia lihat dari sini sembari tersenyum. Perempuan itu sungguh menawan hati. Pinter masak, sholiha, baik dan berkharisma. Zahra memang membuat Alif tertawan. Pada iris coklat itu. Pada suara lembut dan tegas itu.

Suara ketukan membuat Alif sadar, ia segera bergegas dan om Helmi sudah berdiri di depan pintu. Mengapa Alif masih disini dan alat berat sudah di kerahkan untuk membuat satu lagi bangunan. Alif segera memakai jaket dan pergi bersama om Helmi. Mencegah semua itu terjadi.

Sesampainya disana, alat berat sudah siap untuk mengorek tanah dan memulai peletakan batu pertama. Alif berlari, menerobos garis kuning dan membiarkan dirinya sendiri terluka. Nabil, Iqbal dan semua dewan komisaris melihat kejadian itu. Termasuk perwakilan pemerintah. Dengan berat hati Alif harus di usir paksa oleh pengawal. Alif ditarik paksa dan terus memberontak.

"Siapa dia?"

"Orang gak penting!"

"Dia arsitek dari Jepang." Jawab Nabil

Wakil pemerintah langsung memerintahkan kan pengawal itu berhenti. Alif menyalami wakil pemerintah itu. Dia bicara banyak dan membuat nyaman wakil pemerintah itu.

"Maaf pak langsung saja bisa kita mu"

Alif langsung memotong pembicaraan "hmm begini pak, alasan saya tidak membuat desain di bagian ini adalah saya gunakan bagian ini untuk penghijauan. Untuk taman dan untuk daerah resapan air. Mengapa saya lakukan demikian, karena mengingat kota ini yang selalu jadi langganan banjir tidak memungkinkan untuk tidak membuat drainase atau pun resapan air. Saya juga berkonsultasi dengan pak Helmi dari divisi sipil dan beliau juga setuju."

Om Helmi maju dan tersenyum sumringah "benar pak, sekuat apapun fondasi bangunan ini dan sebagus apapun bahan yang dipilih, tapi kalau tiap tahun mendapatkan genangan banjir, maka saya memperkirakan tidak lebih dari 8 tahun bangunan ini sudah roboh."

Perwakilan pemerintah itu segera membuat keputusan "tunda pengerukan, saya harus berkonsultasi lagi dengan beliau"

Alif dan om Helmi menghela nafas lega. Tapi tatapan tajam tak terhindari. Mengingat orang orang dewan komisaris itu kotor semua. Lima belas menit berselang, Alif bisa kembali tidur nyenyak. Pembangunan itu tidak dilakukan. Artinya rumah susun ini sesuai dengan desain yang di buatnya.

Abi, mas Iqbal dan pak Helmi memeluk Alif erat. Jiwanya kembali bersama menapak di bumi. Semua bisa terselesaikan jika kebenaran selalu jadi landasan. Alif sang arsitek idealis membuatnya semakin menemukan banyak kesempatan lebih lama di negeri ini. Alif yang penyayang juga tegas membuat banyak pihak kagum.

Sesampainya di apartemen, Alif langsung menunju lobby, tadi ia tak menggunakan motornya karena bersama om Helmi. Namun baru hendak mendorong pintu kaca tersebut, sebuah tarikan membuat Alif harus bersusah payah mengendalikan serangan yang juga bertubi tubi.

"Bajingan!"

"Ohh jadi ini ulah Lo"

"Gue udah peringati Lo, tapi Lo tetep bersikeras untuk mempertahankan apa yang seharusnya Lo miliki. Lo ingin bermain main ternyata. Kekacauan semua rencana gue hari ini akan buat Lo nyesel Lif"

"Gue gak takut!" Ucap Alif santai sukses membuat wira termakan amarah nya sendiri

Wira menghajar Alif yang selalu menghindar, Alif beberapa kali juga gak ingin membalas pukulan pukulan Wira. Namun satu kali tarikan belati membuat lengan kanan Alif tersayat cukup dalam. Darah bercucuran bagai air tumpah. Wira tersenyum menang

"Ini baru awal yang manis" ucapnya kemudian mengusapkan darah di pisau itu pada pipi Alif.

To be continue....

Next part.

Happy reading guys

Menghapus Jejak Luka [EDISI REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang