empat puluh dua

109 6 0
                                    

Zahra dan Sarah pulang lebih awal dari biasanya. Aldo juga sudah pulang. Mereka naik kendaraan online. Sepanjang jalanan ini ia dan Sarah terus bercerita panjang kali lebar, dari masa kuliah sampai saat ini bisa diterima di rumah sakit bergengsi Ar Rahman hospital.

"Mbak ini dokter yah?" Tanya supir paruh baya tersebut dari spion kecil dan hanya anggukan yang ada

"Anak bapak juga dokter mbak"

"Wahh dimana?"

"Di RSPAD Gatot Soebroto mbak."

"Dokmil yah pak" tanya Zahra memastikan dan bapak tersebut mengangguk dengan senyuman

"Wahhh keren dong pak" ucap Sarah dengan senyuman malu

"Cuma keren doang mbak, tapi banyak waktu yang terbuang untuk orang lain."

Zahra dan Sarah berpandangan melihat satu sama lain.

"Yah mungkin karma buat saya yang dulunya tugas dan gak pernah punya waktu buat mereka"

"Bapak tentara?" Tanya Sarah yang langsung peka kemana pembicaraan mereka

"Purnawirawan tepatnya mbak."

"Kok malah jadi supir online gini, harusnya kan bapak di rumah sama istri nikmati waktu tua. Pensiunan juga ada kan pak, anak udah pada sukses mandiri" cerocos Sarah

"Istri saya setahun yang lalu berpulang. Dia menderita Tremor, 7 tahun lalu sudah menjalani pengobatan, terapi dan bahkan operasi otak, dokter bilang sudah sembuh namun karena banyak tekanan di keluarga kami yang akhir akhir ini sedang berjarak. kami terlambat menyadari nya, gangguan Tremor itu kembali datang. Dia langsung stroke."

"Dua tahun lalu kami bawa ke ar Rahman hospital dan dokter radiologi seperti tak berkompeten menjalankan tugasnya. Saya juga mencari dokter yang dulu menangani istri saya. Beliau sangat luar biasa. Bahkan anak saya kagum pada nya. Tapi kata dokter radiologi itu, dokter Ali sudah di pecat karena terbukti melakukan malapraktik"

"Dokter radiologi itu dokter Furqon bukan pak?"

Bapak itu mengangguk ringan dan tersenyum kecut "kalau aja dia tidak asal asalan mendiagnosa penyakit istri saya. mungkin sekarang istri saya masih ada bersama saya"

Zahra dan Sarah mendesah pasrah. Bingung harus bagaiman tapi pelajaran yang mereka dapat berharga. Selama ini mereka berfikir hanya soal materi. Tapi hari ini ada banyak kebahagiaan yang coba mereka ingat ketika pasien yang mereka rawat sembuh dan kembali kerumahnya.

Ada senyuman bahagia dari keluarga yang menyambut kesehatan orang tersayang yang membaik. Atau mereka para dokter mendapat ucapan terimakasih dan terkenang seperti dokter Ali dan juga kompensasi gaji.

"Pak, maaf saya ingin sampaikan sesuatu, dokter itu kan bukan Allah yang menentukan hidup dan mati. Dokter hanya mengusahakan yang terbaik sebisa mungkin untuk kesembuhan dengan pengharapan dan atas izin Allah tentu nya. Saya sendiri sebagai dokter sudah beberapa kali kehilangan nyawa pasien. Saya sebagai dokter juga menangis dan merasa gagal."

"Iya mbak saya tau kok, cuma kelalaian itu yang gak saya maafkan. Kelalaian dokter mendiagnosa penyakit istri saya, kelalaian saya juga yang tak bisa menjaga suasana keluarga kami tetap tenang. Saya cuma perwira menengah berpangkat kolonel mbak, saya cuma tau perang dan menggunakan senjata. Mana mungkin saya menggugat dokter Furqon yang anak dari pemilik rumah sakit itu."

Zahra diam dan Sarah juga demikian. Tak ingin melukai hati bapak itu lagi dengan bicara dan membela rumah sakit tempat nya berkerja.

Tiba tiba bapak agung yang Zahra dan Sarah sudah ketahui namanya, mendadak menekan kuat pedal rem nya.

Menghapus Jejak Luka [EDISI REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang