Semua sedang menunggu cemas di luar ruang ICU. Zahra terus resah dan tak bisa tenang. Ia terus menerus berjalan menunggu keluarnya dokter dari ruangan. Di sini juga terlihat mbak Aisyah dan ibu Jihan. Juga prof Reza dan Furqon. Keluarga Zahra juga berada disana.
"Sayang!"
Zahra melihat Abi dengan tatapan cemas, ia juga masih memakai pakaian rumah sakit lengkap dengan cadarnya
"Tenang aja, Alif gpp. Dia kuat"
Zahra mengangguk kecil dan tersenyum dengan paksa. Ia melihat Furqon yang seperti tak merasa bersalah. Prof Reza juga berada disana.
"Semua karena ke egoisan mu mas!"
Ucapan itu keluar begitu saja dari Mulut seorang ibu. Prof Reza melihat ibu Jihan dengan tatapan datar. Tangis tak dapat dibendung nya lagi dan entah mengapa, Zahra juga ikut menitihkan air matanya
"Kalau aja kamu mau menurunkan sedikit saja keras kepala dan keegoisan mu, mungkin Alif gak akan ada disana"
"Salah ku semua ini? Harusnya yang kamu salahkan dia. Kenapa dia harus datang lagi ke kehidupan kita."
"Dia anak kamu. Darah daging kamu. Tega kamu buat di dalam sana bertaruh nyawa. Ayah macam apa kamu. Lihat, bagaimana kamu membuat semuanya jadi semakin buruk. Dia menyayangi mu lebih dari siapapun. Lebih dari dia menyayangi aku atau mungkin lebih dari dia menyayangi istrinya."
Prof Reza tersenyum kecil dan menggeleng kuat. Seolah meremehkan ucapan dari istrinya yang masih berada di kursi roda.
"Sampah itu memang harus disana"
"Sampah katamu! Demi Allah aku gak terima kamu katakan Alif sampah. Demi Allah mas, aku gak rela kamu bilang anak yang ku didik tanpa campur tangan mu di bilang sampah. Kalau kamu memang gak menganggap nya anak karena masalah di rumah sakit ini, tak mengapa, biar aku katakan padanya ayahnya sudah mati sejak dia masih bayi."
"Maksudnya apa?" Tanya prof reza
"Sejak dulu memang kamu gak pernah bersama nya kan."
Prof Reza langsung murka. Dia berdiri dan jelas menantang istrinya sendiri yang sedang sakit. Belum sempat mengeluarkan kata, alarm yang berada di atas pintu berbunyi. Menandakan keadaan genting.
Tak lama beberapa suster ber keluaran dan juga masuk kedalam. Zahra mendekati pintu yg terbuka sedikit dan melihat sendiri bibir Alif sudah berlumuran darah. Zahra panik dan hendak masuk namun pintu sudah lebih dulu tertutup oleh suster. Zahra mengetuk kuat pintu itu dan terus menerus berteriak meminta dibuka.
Sarah merengkuhnya pelan, mencoba menenangkan Zahra yang kian meronta ronta ingin menerobos masuk. Sarah mengimbangi tenanga Zahra yang cukup besar. Dia terlihat emosional karena keadaan Alif di dalam tidak bisa di pastikan dalam keadaan baik.
"Tenang Ra, kak Alif pasti kuat!"
Suasana yang tadi sempat tegang kini sudah mulai kondusif. Semuanya diam berdoa demi kesembuhan Alif dan berjam jam sudah dokter di dalam ruangan yang masih tak terbuka. Berjam jam juga mereka menunggu hal yang masih belum ada kepastian. Haruskah hidup Alif berakhir di dalam ruangan itu? Atau haruskah hidup Alif terhenti di saat seperti ini.
Dokter keluar dari ruang operasi. Semua mendekat dan ingin segera mengetahui keadaan Alif.
"Bagaimana keadaannya dok?" Tanya Zahra dengan harapan besar
"Baik baik saja kah?" Tanya mbak Aisyah dengan senyuman kecil
Dokter diam sejenak dan mulai melihat kearah prof Reza. Sebagai dokter juga, prof Reza paham apa maksud tatapan itu. Sebuah anggukan kecil di berikan nya. Pertanda harus segera di beritakan apapun kabar dari keadaan Alif.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menghapus Jejak Luka [EDISI REVISI]
Fiksi UmumSetiap porosnya, kehidupan selalu menempatkan pada dua sisi. Bahagia dan terluka. Tentang Alif seorang dokter yang menyamar menjadi arsitek dan memilih pergi ke negeri sakura untuk menyembuhkan luka. Melebur dalam romansa yang tercipta untuk menikma...