lima puluh satu

117 6 0
                                    

Alif menahan sesak. Abi terus berbicara banyak hal tentang dokter Reza. Papi nya sendiri. Merintis usaha ini. Tempat nya berpijak. Ar Rahman hospital yang sekarang menjadi semakin melambung tinggi namanya di kancah kesehatan negri ini. Ia juga mengabiskan masa kecil di sini. Di rumah sakit ini. Ia juga mengubur mimpi nya disini bersama semua pesakitan itu.

Sementara Abi berharap Alif berdamai dengan ayahnya, sejahat apapun ayahnya dan menjijikkan apapun sifatnya. Alif harus menghadapi nya dengan nyata dan gantle.

"Masalah mu dengan zahra sudah selesai kan, sekarang masalah mu dengan keluarga mu Al. Selesaikan lah dengan baik"

Alif menunduk dan sesekali melihat Abi yang masih berbicara tentang papi nya dengan antusias

"Ingat Al, jika seorang lelaki mengalami kondisi terburuk dalam hidupnya. Masalah datang terus menerus mengisi kekacauan hidupnya itu semata mata bukan ujian. Tapi peringatan bahwa anak lelaki harus memperbaiki hubungan dengan keluarganya. Mempererat silaturahim dengan saudara kandung. Abi dengar mami mu juga sakit selama kamu pergi. Tega kamu membiarkan mami mu menahan rindu pada anaknya?"

"Surgamu tak berpindah, surgamu tetap disana. Jauh lebih baik kamu memang harus melakukan semua ini untuk kebaikan mu dan juga keluarga kecilmu." Ucap abi

Alif menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskan perlahan lahan. Ia menatap abi sedikit lebih lama dan mencoba mempersiapkan dirinya. Mungkin ini yang terbaik untuk semuanya. Ia harus kembali bersinggungan dengan luka yang selama ini ia hindari.

"Alif usaha kan hari ini Alif akan ketemu mami di ruangan nya bi, kalau pun bisa juga Alif akan bertemu papi dan meminta maaf."

Abi mengangguk ringan dan mengusap pelan tangan Alif. Dia tersenyum dan Alif bahagia juga melihat senyum Abi.

***

Alif membuka pintu ruangan Abi, hendak keluar dan menghirup udara segar. Rasa takut menghampiri hati nya dengan penuh. Takut akan merusak semua ketenangan yang selama ini keluarga nya dapat, takut menjadi biang dari semua permasalahan kian meruncing. Ia meletakkan sebelah tangan nya di tembok. Sebelah lagi memegang jantungnya. Sakit sekali rasanya dipaksa melakukan ini dan mengingat lagi semuanya. Air mata tak terasa jatuh semakin banyak.

Alif menitihkan air matanya dan segera menghapus nya. Baru saja hendak duduk, Zahra sudah ada di depan nya. Senyum Alif perlihatkan dan Zahra hanya diam tak bergerak.

"Besok Abi sudah bisa pulang" ucap Zahra dan Alif mengangguk ringan

"Kapan kamu bertemu mami? Sekarang aku juga tidak punya akses banyak untuk bersama mami. Aku takut dengan Furqon kak"

Alif menggeleng dan menggenggam tangan Zahra kuat. Ia melihat Zahra teduh nan lembut membuat yang ditatap menunduk malu

"Mungkin besok"

"Kok mungkin"

"Yah kan Abi juga mau pulang. Kalau sempat aku besok bertemu mami dan.. pa... Papi" ucap Alif terbata bata menyebutkan papinya

Zahra menghela nafas lelah, melepaskan genggaman tangan nya paksa dan menatap lurus pintu ruangan Abi. Ada rasa kesal melihat sikap Alif yang selalu menghindar

"Ra"

Panggil Alif dan tak ada jawaban. Zahra tetap membisu yang mengiringi  malam terakhir mereka di rumah sakit ini. Melihat Alif juga tak ingin.

Menghapus Jejak Luka [EDISI REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang