dua puluh empat

105 7 0
                                    

Malam begini, Alif masih berlari mengikuti orang berolahraga di lapangan komplek. Setelah mendengar perkataan Zahra yang menyakitkan, Alif memilih pergi dengan motornya. Tak perduli Zahra mengatakan apapun. ia hanya ingin menikmati rasa sakitnya dengan senyum. Seperti delapan tahun terakhir ini ia lakukan dengan damai.

Bukankah semuanya sudah berada di dalam lingkaran hitam menyedihkan, berada disana dengan kepalsuan. Alif harus apa sekarang jika istri nya sendiri juga mencampak kan nya tak manusiawi

"Pulang, udah malem. Istirahat lif bukan olahraga."

Suara Iqbal, Alif tersenyum dan mengangguk ringan. Alif menurut pada iqbal. Ia menghormati Iqbal seperti menghormati kakak kandungnya sendiri. Entah dari mana Iqbal tahu ia ada di taman. Sepanjang malam ini, Iqbal terus bercerita tentang Zahra. Alif mendengar sembari menuntun motor bututnya

"Zahra itu anak baik. Cuma sedikit keras kepala, gue juga tak tahu dari mana dia dan gue keras kepala"

"Dari Abi mungkin" canda Alif membuat Iqbal tertawa

"Lo sebagai suami harus bisa tegas pada istri mu. Gue gak akan bela Zahra kalau dia tak bisa menghormati Lo sebagai suaminya. Sekalipun Zahra adek gue. Lif, tanggung jawab suami berat. Suami itu nahkoda, pilot, masinis ataupun CEO. Mereka lah yang membawa kemana arah tujuan yang mereka mau tuju. Sedang istri mendampingi di samping. Kalau kamu saja sebagai nahkoda tak tau akan kemana, bagaimana istirmu lif."

"Gue lihat, Lo kesulitan mengatur Zahra yang kian semena mena sekarang. Gue juga minta maaf kepada mu karena sikap Zahra yang sering buat Lo repot."

Alif mengangguk dan tersenyum kecil, ia ingin memeluk Iqbal saat ini juga dan menangis di pelukannya. Alif tak perduli jika ia dikatakan cengeng atau apapun. Yg ia ingin hanya pelukan kekuatan untuk tetap bertahan.

"Gue juga salah, tak bisa menjadi suami yang baik untuk Zahra. Gue juga gak bisa buat Zahra nyaman sampai dia mencari kenyamanan di luar. Semua salah gue."

Iqbal tak menjawab, hanya mengusap lembut punggung tegak alif. Malam ini sepertinya akan hujan lagi. Langit mendung dan angin kencang mulai terasa dingin dikulit.
.
.

"Assalamualaikum"

Alif melihat Zahra sedang makan sembari mengobrol bersama umi, abi dan mbak Nisa. Pagi ini ia di rusuhi oleh sekelebat panggilan di ponsel. Ia diundang Iqbal untuk sarapan di rumah Abi. Karena hari ini libur dan semua mengumpul. Kebetulan yang menguntungkan.

"Datang juga Lo kan? Mumpung kita lagi libur semua ini jadi ngumpul. Masak Lo sendirian di apartemen."

Alif tersenyum dan duduk di tempat yang kosong " yah kerjaan gue lagi banyak mas, Lo tau sendiri"

Iqbal tersenyum dan menepuk pundak Alif "gak tidur lagi Lo?"

Alif tersenyum saja, jika orang yang bekerja di bidangnya sudah pasti tau bagaimana cara kerjanya.

"Makan dulu lif sini" ucap mbak Nisa membuat Alif hanya mengangguk ringan

"Ambilin dong Ra, kamu ihhh" omel mbak Nisa membuat Zahra hanya diam saja.

"Alif udah beli nasi uduk tadi mbak, udah sarapan."

"Yeee curang Lo. Gue ngajak Lo kesini tuh buat sarapan bareng, ini Lo malah udah beli nasi."

Alif hanya tertawa kecil dan menunduk. Sementara umi, Abi dan mbak nisa menyadari perubahan pada Zahra. Sebelum Alif datang, Zahra seceria ini bercerita dan tertawa, namun saat Alif datang, Zahra hanya diam dan diam.

"Yah Lo gak bilang kalau mau sarapan bareng, kan bisa gue atur gak makan"

"Yasudah Abi mau ke taman samping dulu yah. Kalian lanjut sarapan."

Menghapus Jejak Luka [EDISI REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang