Partner for Life (Sean POV + Normal POV)

441 48 0
                                    


Sean POV

Kalian tahu tidak bagaimana rasanya menyimpan sebuah rasa pada seseorang yang sudah kamu anggap sebagai sahabatmu. Entah sejak kapan rasa ini tumbuh begitu saja di hatiku. Awalnya aku dan dia hanya sebatas teman biasa, teman saat proker saling bantu membantu satu sama lain.

Tetapi akhir-akhir ini semua perkataan bahkan bayangan wajahnya selalu terngiang dalam pikiranku. Ya, aku akui aku adalah orang yang cukup friendly jadi tidak heran jika aku dekat dengan semua temanku entah itu laki-laki atau perempuan.

Namun, kali ini berbeda ceritanya. Dia adalah sosok yang sudah kukenal selama hampir dua tahun. Yang kutahu dia cukup pendiam dan kalem. Orang-orang bilang wajahnya cantik meski secara fisik tinggi badannya tergolong pendek.

Tapi bukankah perempuan dengan badan pendek itu menggemaskan? Begitulah yang aku pikirkan sejak pertama aku berkenalan dengannya.

Dia mungil, cantik, dan kulitnya putih setidaknya itu yang aku pikirkan. Awalnya tidak ada rasa apa-apa di hatiku hingga aku dan dia menjadi teman yang dekat. Beberapa bulan ini aku merasa ada yang salah dengan hatiku semenjak kami memiliki proker banyak dan sering jalan bersama untuk sekedar survei atau membahas yang lainnya.

Mata bulatnya selalu memancarkan kekhawatiran kala terjadi sesuatu dengan diriku seperti contohnya saat aku sakit beberapa waktu lalu. Sungguh hatiku merasa menghangat kala suaranya mengeluarkan kalimat untuk menasihatiku agar mengurangi rokok, minum kopi, atau memgingatkan diriku ketika telat makan.

Awalnya aku pikir hal itu hanya kekhawatiran biasa saja karena kami harus memiliki kondisi badan fit jika tak mau proker kami terkendala. Tetapi lama-lama aku mulai terbawa perasaan, ya Tuhan apa-apan sih Sean kau ini. Kenapa tingkahmu jadi seperti perempuan begini.

Sungguh aku tak bisa menyangkal bila aku merasa bahagia kala ia berada di sampingku saat ini. Di mana saat-saat dia membonceng di motorku, saat kami berdua membahas proker dan anak-anak divisi kami, atau saat kami berpapasan dan ia tersenyum hangat padaku. Jantungku tidak bisa untuk tak berdetak lebih kencang saat itu.

Bahkan entah kenapa mulut ini selalu saja keceplosan untuk menceritakan keluh kesah apa yang aku rasakan padanya saat kami bersama. Ada sesuatu yang mendorongku untuk berbagi kisahku padanya.

Aku memang punya banyak teman tetapi tidak semua teman aku ceritakan masalah tentang hidupku terlebih yang menjurus ke masalah pribadi seperti keluarga. Itu bukan Sean tapi bersamanya aku bisa dengan leluasa bercerita begitu saja.

"Hei, Se, ngapain ngelamun aja?" sebuah suara mengagetkanku dari fokus tatapanku pada ponsel pintar hitamku.

Sudah kuduga Kaisar pasti masuk begitu saja ke kamarku tanpa permisi. Lelaki berkulit sawo matang itu adalah teman dekatku setahun ini.

"Liatin foto apa?" tanyanya lagi setelah duduk di kursi meja belajarku.

"Bukan apa-apa," balasku malas.

Kulihat Kaisar senyam-senyum tak jelas. Ia menatapku dengan tatapan yang menurutku menjengkelkan.

"Ah udah ngaku aja, pasti fotomu sama Airin kan?"

Aku membulatkan mata sembari menatap temanku itu. Memang sebenarnya tak ada yang salah dengan kalimatnya hanya saja aku heran kenapa dia bisa mengetahuinya. Aku bahkan tak pernah menceritakan pada siapapun tentang perasaanku ini kecuali pada satu sahabat perempuanku yaitu Yuna.

"Gausah galak-galak natapnya, Se. Makan yuk!" ajak Kaisar sembari bangkit berdiri.

Kulihat jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam dan kebetulan aku melewatkan makan siangku tadi.

Vanilla Latte : Short Story | Hunrene ChanreneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang