43. Chapter 43

547 21 1
                                    

Happy reading and enjoy guys:)
-----------------------------------------------------------

Carra mendongak menatap pemilik sapu tangan itu. Dia mengernyit, tidak mengenali orang tersebut.

Dia mengambil sapu tangan tersebut dan menghapus air matanya. Setelahnya, dia menyeruput minumnya dan berdehem agar suara suaranya tidak serak sehabis menangis.

Dia kemudian menatap pemilik sapu tangan ini yang dengan santai meminum minuman Mike yang belum terminum tadi.

"Bapak siapa ya?" tanya Carra pada laki-laki paruh baya itu.

"Saya Satria, ayahnya Mike."

Tentu saja Carra terkejut. "Oh, saya tidak tahu."

"Santai saja. Kamu tidak apa-apa?" tanya Satria.

Carra menggangguk. "Iya. Bapak dari tadi melihat kami?"

Pria itu memanggil pelayan dan memesan makanan. Dia menawari Carra tapi Carra sedang tidak berselera makan.

"Saya tahu semuanya." Carra menatap menatapnya bingung. "Saya tahu kamu adalah kekasihnya dan adik dari orang yang sudah menabrak anak saya, Laura. Saya mengawasi anak itu dan mencari tahu semua orang yang berhubungan dengan dia, termasuk kamu."

Mendengar itu, Carra menunduk. Rasa bersalah itu kembali mencuat. "Maaf."

"Untuk apa kamu minta maaf? Tidak ada yang salah, ini semua takdir. Jadi, jangan merasa bersalah, nak."

Carra menjadi lebih tenang setelah tahu ayah Mike tidak menyalahkan siapa pun, dia kira ayah Mike akan menuntut pertanggungjawaban. "Bapak baik sekali."

"Ini bukan perbuatan yang baik, saya hanya mengikhlaskan apa yang sudah terjadi. Mau saya menuntut kalian, anak saya tidak akan hidup lagi. Tak akan ada gunanya, saya tetap tidak bisa melihat Laura secara langsung," ucap Satria tersenyum sedih, membayangkan kebodohannya di masa lalu.

Carra lagi-lagi merasa bingung, dia tidak tahu apa-apa. Dia hanya tahu kalau Laura sudah tidak ada.

"Kamu tidak tahu? Mike tidak menceritakannya?" tanya Satria saat melihat wajah bingung Carra. Gadis itu menggeleng, terlihat sedikit kesal.

"Kamu tidak berhak marah, nak. Kamu juga merahasiakan banyak hal dari Mike. Saya memang tidak marah, tetapi tetap saja kamu membohongi putra saya." Satria benar, Carra tidak berhak marah. Dia hanya tersenyum.

"Saya meninggalkan istri saya sewaktu hamil Laura dulu. Kami hidup susah saat itu, hingga saya memutuskan untuk mencari peruntungan di kota lain. Saya dan istri saya sudah sepakat mengenai itu.

"Nasib saya berubah di tempat lain, saya mendapat kerja dan menghasilkan uang yang lumayan. Setiap bulan saya rutin mengirim uang untuk mereka, sampai suatu saat saya berhenti."

Dari tadi Carra hanya diam menyimak, membiarkan pria itu mencurahkan hatinya.

"Saya tidak melupakan mereka, tentu saya tidak. Saya ditipu waktu itu, uang saya habis, tidak ada yang bisa dikirim. Saya lost kontak dengan istri saya, dia mengira saya lupa diri karena sudah sukses. Hidup kami yang mulai membaik kembali susah." Satria mengambil nafas dalam sebelum melakukan perkataannya. "Hingga akhirnya, istri saja memutuskan meninggalkan kedua anak saya di panti asuhan dan mengakhiri hidupnya. Saya tidak tahu pasti apa alasannya, saya ingin bertanya pada Mike, mungkin dia tahu."

Carra menganga tak percaya. Dia tak tahu Mike hidup dalam kesedihan seperti itu. Kalau tahu dari awal, mungkin ini akan berbeda kisah.

"Bapak kemana aja selama ini? Bapak tahu apa yang dilewati Mike sendiri? Seharusnya bapak ada di sampingnya." Carra akhirnya bersuara setelah lama terdiam.

"Saya tahu semua yang terjadi padanya. Saya hanya menunggu waktu yang pas untuk menemuinya dan sekarang adalah waktu yang pas."

"Kenapa Bapak tidak menemuinya dan malah menemui saya?" tanya Carra.

"Kamu kira kenapa saya menceritakan hidup saya pada kamu?" tanya Satria. Carra merasa pria itu tampak menyeramkan sekarang. "Kamu ceritakan ulang semua itu pada Mike dan beri ini padanya." Dia menyodorkan sebuah kartu nama dengan catatan di baliknya.

"Tapi kami-"

"Saya tahu. Anggap saja ini sebagai ganti maaf kamu. Sampaikan ini pada Mike, saya lupakan kesalahan kamu."

Carra merasa dia diperalat oleh Satria. "Bapak pasti bisa menemui Mike tanpa saya."

"Ya, saya bisa."

"Lalu kenapa menyuruh saya?"

"Bukankah saya sudah bilang? Anggap saja ini permintaan maaf kamu. Kamu tidak merasa ini tidak perlu bukan? Kamu jelas butuh maaf setelah apa yang kamu lakukan pada Mike dan Laura."

Dan Carra hanya diam. Dia tidak bisa menolak. Dia merasa bodoh sekarang.

~~~


Jimmy langsung menghampiri Carra di kamar setelah mendengar suara pintu ditutup.

"Ayo jelasin sama gue sekarang," ucap Jimmy langsung setelah membuka pintu. Dia sudah sangat tidak sabar.

Carra berbalik menghadap Jimmy, membuat abangnya itu bisa melihat dengan jelas mata sembabnya.

"Carra, lo kenapa matanya sembab gitu? Nangis? Diapain lo sama Mike hah?" tanya Jimmy panik sambil mengguncang bahu Carra. "Bilang sama abang."

Air mata Carra meluruh lagi. Ah, dia sudah lelah menangis tapi tidak bisa menahannya. Melihat itu, Jimmy langsung memeluknya.

"Kenapa? Ceritaiin sama abang." Jimmy mengelus punggung Carra, berusaha menenangkannya.

"Mike," ucap Carra sambil sesegukan.

"Kenapa dia?"

"Dia mutusin Carra, bang."

"Lah patah hati ceritanya?" Carra langsung memukul Jimmy. "Ish, serius!"

"Iya. Dia Mike abangnya Laura kan?" Carra menggangguk. Dia kemudian menceritakan semuanya pada Jimmy.

"Carra salah ya bang?" tanya Carra setelah selesai.

"Tentu lo salah, lo mainin hati orang."

"Tapi-"

"Syuut." Jimmy meletakkan jari telunjuk di mulut Carra, menyuruh diam. "Iya, abang tahu maksud lo bukan gitu. Tapi, cara lo salah."

"Terus Carra harus gimana?" Tangisnya semakin kencang.

"Lo bicarakan baik-baik sama dia besok, ga ada gunanya lo nangis gini. Tidur ya, udah malam. Mata lo bengkak gitu lagi," suruh Jimmy. Carra hanya menurut. Dia berbaring dan Jimmy menyelimutinya. Jimmy mengecup dahi Carra sebelum beranjak keluar.

"Makanya, masih kecil sok-sokan lakuin hal besar kayak gitu. Ketahuan,  nangis kan lo," ucap Jimmy sebelum keluar.

"Bang!" Dasar Jimmy. Di saat seperti ini masih saja mengganggu Carra.

~~~

Venganza✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang