Bab 43

1.6K 55 2
                                    

"Ga____" Wenda langsung beringsut mendekati Raga. Ia memegang tangan pria itu dari dalam sel.

Sementara Raga, ia menatap temannya itu antara iba dan tak menyangka. "Kenapa lo lakuin itu Wen?"

Wenda menggeleng, air matanya merembes keluar. "Gu--gue gak tau Ga___" ucapnya terisak, "gue___gue..."

Raga membiarkan Wenda menangis. Gadis itu terlihat hancur dan menyesali apa yang sudah ia perbuat. Raga sebelumnya juga tak percaya dengan apa yang ia dengar.

"Gue nyesel Ga____gue nyesel... Gue gak tau. Pikiran gue hancur waktu itu...," ucap Wenda terisak. Teringat sesuatu, Wenda menatap Raga. "Kak Fe. Gimana keadaan dia? Dia gak papa kan Ga?" tanyanya panik.

Raga menghela nafas, ia mengusap wajahnya kasar. "Fe____koma."

Wenda terkejut, detik selanjutnya tangisnya pecah. Ia memukul dadanya sendiri, "Kak Fe.... Enggak__semua ini salah gue. Gue...,"

Raga menahan tangan Wenda saat gadis itu menjambak rambutnya sendiri.

"Tenang Wen..."

"Enggak! Gue harusnya mati!!"

"Wenda! Gue bilang tenang!" bentak Raga membuat Wenda seketika diam dan menatap Raga. "Gue tau lo gak berniat lakuin itu semua. Tapi gue juga gak bisa membenarkan apa yang udah lo lakuin, karna sejak awal lo sendiri yang mengaku kalo lo mau lenyapin Cewek itu."

"Pikiran gue gelap Ga...," lirih Wenda sambil menunduk. "Gue____"

Raga mendesah, ia mengusap wajahnya kasar. "Harusnya ini bisa buat lo sadar sama apa yang udah lo lakuin selama ini."

Wenda terdiam, ia menatap Raga dengan berurai air mata sebelum akhirnya pergi dari hadapannya. Raga terlihat kecewa sama seperti beberapa orang yang mengunjunginya sebelum ini. Ayah, Ibu dan saudaranya. Mereka semua kecewa dan tak menyangka. Bahkan mereka mengatakan dirinya bukan lagi bagian dari keluarga itu.

Semua orang mencampakkannya.

Tidak, mereka semua memang sudah meninggalkannya dari dulu.

Ia kehilangan semuanya. Keluarga, Kekasih dan juga Sahabat.

Mereka semua meninggalkannya sendiri.

-

"Gimana keadaan Fe?"

Key menggeleng, ia berdiri mematung di koridor rumah sakit masih dengan pakaian steril. Gadis itu baru saja menjenguk Fe di ruang ICU.

Danil dan Rio hanya bisa mendesah. Rio membawa Key untuk duduk di bangku yang diikuti oleh Danil.

Suasana hening, Rio dan Danil saling pandang. Terlihat bingung melihat Key yang terlalu diam. Gadis itu juga terlihat menunduk.

Sebuah gelang yang disodorkan Rio membuat Key tersadar dari lamunannya. Ia meraih gelang itu dalam genggamannya. Detik berikutnya air matanya meluncur begitu saja. Tak ada isakan, hanya pandangan kosongnya pada gelang itu.

"Kayaknya Fe gak sempet kembaliin sama lo." Ucap Rio, tapi Key masih tetap diam.

"Nil."

Danil menoleh saat Rio memanggilnya. Ia mengangguk setelah itu beranjak pergi meninggalkan Rio dan Key. Ada banyak hal yang harus Key ketahui.

Suasana menjadi hening. Rio menatap Key yang masih setia menunduk sebelum berucap, "sebelumnya gue gak pernah liat Fe sehancur itu karna Cewek. Yah, lo pasti ingat kan pas lo mutusin dia? Kerjaannya cuma ke Klub, kalo enggak ngehajar orang sampe puas."

Pria berrambut hitam tebal itu terkekeh kemudian mendengus, "gue marah, semua barang di apartemennya gue hancurin. Yah, mungkin biar dia sadar."

Key mendongakkan kepalanya. "Kak Fe gak pernah keliatan waktu itu."

Feelings (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang