Bab 15

1.8K 52 0
                                    

"Kakak tadi beneran senyum kan?"

"Hm."

"Bener kan?" pekik Key kegirangan.
"Ya Allah..., jantung Key mau copot."
Key memegang dadanya sendiri.

"Lain kali kalo Kakak mau senyum bilangin Key dulu."

"Ya Allah senyumnya buat adem bener."

Fe geleng kepala setelah itu tersenyum tipis. Tapi tiba-tiba matanya menilik tajam saat matanya tak sengaja menangkap seseorang yang membuntuti mereka dari belakang. Orang itu memakai mobil. Fe mencoba untuk tenang sambil sesekali melirik spionnya.

"Key pengen es krim." ucap Key saat mereka berhenti karena lampu merah.

Fe melirik Key ke belakang setelah itu kembali fokus pada mobil putih di belakangnya. Saat lampu hijau menyala Fe kembali melajukan motornya dan menuntunnya ke pinggir kemudian memasuki sebuah persimpangan.

"Kita mau kemana Kak?" Tanya Key.

"Tadi lo bilang mau es krim." Jawab Key fokus ke jalan sambil sesekali melirik spionnya. Mobil putih itu masih ikut mengikuti.

Key membelalakkan matanya. "Kakak mau beliin Key es krim?"

"Hm."

Key memekik kegirangan. Jika tidak berada di motor mungkin saat ini Key sudah jingkrak-jingkrak kegirangan.

******

Senyum itu tak pernah luntur sejak Fe mengatakan akan membawanya makan es krim. Saat ini Key duduk di sebuah kursi tunggal. Ia berada di sebuah kedai es krim pinggir jalan. Sesekali ia memperhatikan beberapa kendaraan yang berlalu lalang, tentu saja masih dengan senyumannya. Kemudian matanya berpindaph pada Fe yang sedang membawa satu mangkuk es krim di tangannya.

"Buat Kakak mana?" Tanya Key saat Fe meletakkan es krim itu di depannya.

"Lo aja." Fe memperhatikan keluar mencari sesuatu.

"Key gak mau makan kalo Kakak gak makan." Key mendorong es krim di depannya.

"Bagus, ayo pulang!" Fe beranjak dari duduknya tapi tangannya dicekal oleh Key. Gadis itu mengerucutkan bibirnya dengan tatapan kesal. Hampir saja Fe terkekeh jika ia tak dapat menyembunyikannya.

Key menarik Fe agar kembali duduk di kursinya. Setelah itu ia mulai menyendokkan es krim coklat ke mulutnya. "Kakak gak ada romantis-romantisnya." Kesal Key kemudian memasukkan satu sendok besar es krim ke mulutnya.

Fe hanya diam memperhatikan Key memakan es krimnya. Meski sedang makan gadis itu masih juga tak bisa menahan mulutnya untuk tidak bicara.

"Tadi Kakak gendong Key ke UKS ya?" Tanya Key dengan mata berbinar.

"Trus orang-orang bilang apa saat liatin?"

"Pasti pada sirik kan?" Key menyengir.

"Besok pasti bakal jadi topic trending." Ucap gadis itu tersenyum miring.

"Lo masih sering digangguin Vera?" Tanya Fe membuat ekspresi Key langsung berubah karena Fe menyebut Vera.

Key menarik nafas gusar kemudian membalas tatapan Fe, "Kakak punya hubungan apa sama dia?" bukannya menjawab, gadis itu malah balik bertanya.

Fe menghembuskan nafasnya, "cukup jawab pertanyaan gue."

"Nggak, Key gak pernah digangguin Vera." Jawab Key berbohong.

"Lo yakin?"

Key mengangguk, "Jawab pertanyaan Key juga."

Fe menaikkan satu alisnya sambil menyandarkan punggungnya pada kursi. "Abisin es krim lo."

Mendengar itu Key mendengus, "Kakak gak boleh deket sama cewek lain selain Key."

"Gue gak punya alasan buat nurutin elo." Fe berucap datar.

Key terkesiap mendengar ucapan Fe. Tapi pada detik itu pula ia sadar apa yang dikatakan Fe ada benarnya. Ia mengalihkan pandangannya keluar mencoba menyembunyikan kegusarannya.

"Udah makan es krimnya?"

Key tak mengubris Fe, ia masih berfokus pada jalanan diluar. Sampai ia merasakan Fe menarik tangannya keluar dari kedai itu.

"Tunggu disini." Fe meninggalkan Key di tepi jalan kemudian berjalan menuju parkiran.

*****

"Wenda."

Gadis berwajah manis itu berbalik saat mendengar namanya disebut. Yang di dapatinya adalah Key sedang menatapnya.

"Mm..., itu..., bisa ngomong bentar gak?" Key menggigit bibir dalamnya.

"Langsung aja." Wenda melipat kedua tangannya di atas dada dan bersandar pada dinding.

"Maksud omongan lo waktu itu."

"Yang mana?" Wenda terlihat berpikir. "Aahh, yang waktu itu?"

Key mengangguk dua kali, "Bisa lo jelasin? Gue gak ngerti."

"Bagian mana yang gak lo ngerti?"

"Semuanya."

Wenda menurunkan tangannya dan memutar bola mata malas, "Lo kan punya otak, Masa gitu aja gak ngerti."

"Kenapa lo jadi gini Wen? Sebelumnya lo gak masalah gue deketin Kak Fe." Key mengepal tangannya, Wenda di depannya bukanlah Wenda yang dikenalnya selama ini.

Wenda mendecih, "Serah lo deh, males gue ngomong sama lo." Wenda melenggang pergi tapi tangannya dicekal Key.

"Mau apa lagi sih lo?" Wenda menghempaskan tangannya kasar.

"Lo berubah Wen," Ujar Key tak percaya. "Lo bukan Wenda yang gue kenal!" Key meninggikan suaranya.

Wenda maju beberapa langkah menepis jarak antara mereka berdua. Matanya menilik tajam membalas tatapan tak percaya Key.  Kemudian ia mencengkram kedua bahu Key sambil mengguncangnya membuat Key meringis pelan.
"Apa gue harus selalu jadi Wenda yang lo kenal? Yang selalu jadi babu lo. Yang harus ada saat lo butuh tapi gak pernah ada saat gue butuh."

Key menyerngit mencerna apa yang Wenda katakan. Ia terhenyak mendengar perkataan Wenda. Apa ia memang orang yang seperti itu?

Wenda mendengus kemudian melepaskan cengkramannya dan meninggalkan Key yang membisu di tempat.

Key mematung di tempatnya, menatap nanar punggung Wenda yang berjalan menjauh sampai hilang di ujung koridor. Kepalan tangannya semakin kuat, ia berjongkok menyembunyikan wajahnya di belakang lutut. Tak percaya dengan apa yang baru saja Wenda katakan.

Hal yang paling ditakutinya terjadi, orang yang dia sayangi menjauh darinya. Bukanlah perihal mudah menerima apa yang Wenda katakan, ia sudah menganggap Wenda saudaranya sendiri. Tidak, ia sudah menganggap ketiga sahabatnya saudara sendiri.

"Lo ngapain?"

Key tersentak mendengar suara itu. Suara yang membuatnya merasa terlindungi saat mendengarnya. Siapa lagi jika bukan Fe.
Key mendongak menatap Fe yang sudah berdiri di depannya. Kemudian pria itu ikut berjongkok di depannya.

"Lo sakit?"

Key menggeleng.

"Muka lo kenapa merah? Lo nangis?"

key menggeleng.

Meski terlihat datar, pria dingin itu masih terlihat khawatir. Fe kemudian membawa gadis itu berdiri. Tak ada senyum bahagia dari wajah yang membuatnya selalu terbayang itu. Dan satu yang Fe sadari, ia mengkhawatirkan gadis di depannya ini melebihi dirinya sendiri yang seharusnya sudah berada di ruang kepala sekolah saat ini.

"Vera gangguin lo lagi?"

Key menggeleng.

Fe mengangguk mengerti setelah itu menarik tangan Key menuju kelasnya melewati orang-orang yang mulai ramai karna bel istirahat. Semua orang kembali berbisik-bisik melihat dua orang yang selalu membuat seisi gedung sekolah itu heboh. Beberapa cewek hanya bisa berdecak kesal melihat sang idola mereka sepertinya sudah memiliki hubungan spesial dengan Key.

Sementara Fe hanya acuh tak peduli melihat semua tatapan itu. Ia semakin mengeratkan genggamannya pada tangan Key yang berjalan di belakangnya.

Feelings (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang