Menghela napasnya pelan, Mark menatap kekasihnya yang akhir-akhir ini berubah menjadi pendiam. Mark sendiri bukannya tidak ingin tahu apa yang sedang dirasakan kekasihnya, tetapi dia ingin memberikan waktu kepada gadis itu untuk bercerita terlebih kepadanya karena tahu pasti gadis itu butuh waktu untuk bercerita. Sehingga hari ini, Mark mencoba meminta kekasihnya itu untuk menemaninya menyelesaikan pekerjaannya, tepat setelah dirinya menjemput Chandra dari tempat kerjanya.
"Mas...." Panggil Chandra perlahan, tidak betah berdiam diri terlalu lama, akhirnya memutuskan untuk memulai pembicaraan dengan Mark yang asyik berkutat dengan laptopnya. Chandra sendiri tidak keberatan ditinggal Mark mengerjakan entah apa di sampingnya, selama Mark menyediakan asupan camilan sembari dirinya menunggu.
"Hmm.." Gumamnya menjawab panggilan sang kekasih.
Ragu-ragu, Chandra mengatupkan kembali bibirnya, menelan semua pertanyaan yang sudah siap keluar dari mulutnya. Tidak ada kalimat lagi dari kekasihnya, Mark lalu mengarahkan pandangannya ke arah gadis yang sibuk mengamati sisa hujan dari jendela tempat mereka menghabiskan waktu. "Kenapa sih?" Tanyanya saat menyadari gadisnya sudah tidak bermain game di ponselnya.
"Gapa... "
"Orang tanya kenapa itu jawabnya karena. Bukan gapapa." Potong Mark cepat, mengubah posisi duduknya menjadi sepenuhnya berhadapan dengan Chandra, yang masih sibuk menghindari pandangannya. Mark menggenggam tangan kekasihnya untuk mengusapnya perlahan sebelum melanjutkan kalimatnya. "Chand. Mas ini pacar kamu. Kamu bisa cerita apa aja ke Mas, gak perlu semuanya kamu pendem sendiri. Katanya Mas suruh jujur sama kamu?" Ujarnya mengingatkan kalimat Chandra tempo hari.
"Aku tuh bingung Mas." Mark diam menunggu kelanjutan kalimat kekasihnya. Beberapa detik berlalu dalam diam tanpa lanjutan kalimat penjelas dari sang gadis. "Mas gak nanya aku bingung kenapa?" Gerutunya saat dilihatnya Mark hanya menatapnya, tangannya masih setia menggenggam tangannya.
"Soal Bapak?"
"Iya." Jawabnya perlahan, membebaskan tangannya dari genggaman sang kekasih, lalu ganti mengambil gelas kopi di hadapannya. Tangannya sedikut bergetar, terlihat jelas menahan emosi yang bergejolak di dalam dirinya.
"Kamu takut bapakmu ngelupain ibu?" Tanya Mark lagi, membiarkan Chandra menyeruput singkat kopinya. Tidak disangka, kalimatnya memancing tawa dari yang lebih muda.
"Mas itu dosen Bahasa Inggris apa Psikologi sih?" Mengalihkan pandangannya ke sebelah kiri, akhirnya Chandra memberanikan diri membalas tatapan kekasihnya.
"Kamu itu, belajar o lebih terbuka sama orang Dek. Belajar nerima orang baru. Sekarang gini, kamu sayang sama Mas Reza ga?" Chandra mengangguk menjawab pertanyaan Mark. "Sayang Jagat gak?" Chandra kembali menganggukkan kepalanya. "Kamu sayang dua-duanya tapi dalam konteks yang beda, gak bisa dibandingin kamu lebih sayang mana. Juga gimana perlakuanmu ke mereka. Sama aja kayak Bapak. Bapak itu sayang sama Ibu. Kalau sekarang Bapak ketemu orang baru, bukan berarti udah gak sayang Ibu. Tapi udah nemu cara baru buat sayang ibu, sayang orang lain juga." Jelasnya dengan nada pelan. Mencoba memberu pengertian secara halus kepada Chandra.
"Gimana kalau.... Bu Tania ternyata gak baik buat Bapak?" Menggigit kukunya, Chandra akhirnya mengungkapkan kegalauannya, hal yang menghantui pikirannya beberapa hari terakhir.
"Dulu kenapa kamu percaya Mas baik buat kamu?" Mark balik mempertanyakan awal perkenalan mereka berdua. Yang tidak bisa dibilang baik.
"Gak tau/? Yaa karna deket sama Mas, banyak ngabisin waktu sama Mas. Kenal sama keluarganya juga."
"Nah, ya sama aja. Kamu cuma harus kasih waktu buat kamu sama Bu Tania. Bukan cuma Bapak yang kenal. Bukan cuma Bapak yang deket. Kan kayak orang bilang, cinta butuh waktu. Ya kayak gitu." Kilat keraguan mulai memudar dari binar mata si gadis.
"Mas?"
"Dalem."
"Ayo nikah." Mark terbahak mendengar kalimat dari kekasihnya. Tidak menyangka kerandoman Chandra akan melebihi batas perkiraannya.
"Beneran gak nih? Kalau iya, Mas ajak ibu sama bapak ke rumah lho." Balas Mark, menghasilkan tawa di antara mereka berdua.
"Nanti dulu ya Mas. Biar Bapak dulu, sama yang aku bilang. Nunggu kontrak kerjaku beres dulu." Ujarnya meyakinkan. Mark dan juga dirinya sendiri.
"Iya. Mas juga sudah bilang ke ibu, kamu masih terikat kontrak kerja." Chandra terkekeh mendengar kalimat pengertian dari kekasihnya. Membiarkan waktu berlalu sementara Mark kembali menghadap laptopnya dan memulai menyentuh pekerjaannya hingga matahari mulai tergelincir ke arah barat. Menyisakan gelap yang semakin menyelimuti bumi. Mark lalu mengantarkan Chandra pulang ke rumah dan berpamitan dengan Pak Pratama yang kebetulan berada di rumah.
"Chandra." Panggil Pak Pratama begitu Mark meninggalkan kediaman mereka.
"Iya Pak?" Sahutnya singkat. Membalikkan badannya untuk berhadapan dengan ayahnya.
"Kalau kamu gak mau Bapak nikah, Bapak gak bakal nikah kok nduk." Air mata langsung terurai di kelopak being Chandra, membuatnya kebingungan memilih kata untuk membalas pria yang berada di hadapannya. Melihat anak gadisnya yang sesenggukan, Pak pratama buru-buru membawa Chandra untuk duduk.
"Gak gitu Pak." Balasnya di sela tangis yang tak kunjung mereda. "Aku tuh... Bapak tetep sayang sama Ibu kan ya?" Tanyanya perlahan. Bingung merangkai kata untuk ayahnya.
"Nduk. Kalau sekarang Bapak mau nikah, bukan karna Bapak sudah gak sayang sama ibumu. Bapak tetep sayang kok. Tapi Bapak jelas lebih sayang sama anak Bapak. Jadi kalau kamu belum siap, Bapak gak masalah. Yang penting itu sekarang kamu sama Reza sama Jagat. Lagipula belum dalam waktu dekat juga. Semua butuh persiapan." Chandra terburu menggelengkan kepalanya, mengatur napasnya yang terputus-putus.
"Pak. Chandra sayang sama Bapak, sayang sama Ibu. Selama Chandra tau Bapak masih sayang sama Ibu, Chandra gapapa Bapak sama Bu Tania. Maafin Chandra udah ngeraguin Bapak. Chandra yang salah pak." Ujarnya memotong kalimat ayahnya. Sejurus kemudian terdengar suara langkah mendekat ke arah mereka, Chandra lalu mendongak ketika ada sepasang kaki berhenti di sampingnya, mengulurkan segelas air putih kepadanya. Meminumnya perlahan untuk membantunya menenangkan diri, Chandra melirik ke samping, ke arah kakak laki-lakinya yang sudah ikut duduk. Memperhatikan obrolan mereka dalam diam.
"Mas Reza sudah tau?" Tanya Pak Pratama, mengalihkan pembicaraannya ke arah anak sulungnya.
"Sampun Pak." Jawabnya sambil mengangguk pelan, mengiyakan pertanyaan sang ayah mengenai dirinya yang sudah mengetahui kondisi adiknya. Membuat yang disebut mendengus kesal karena jawaban kakaknya yang dianggapnya terlalu sopan.
"Sok manis." Cibirnya, bibirnya mencebik ke arah sang kakak yang langsung, lagi-lagi, meraup mukanya.
"Ben. Sirik." Balasnya sambil menertawakan bekas make up yang luntur menghiasi raut wajah adiknya akibat air mata. Chandra lalu meraih ponselnya untuk mengecek wajahnya, setelah menyadari objek tertawa kakaknya adalah dirinya. Membuat Pak Pratama hanya bisa memijit pelipisnya pelan melihat kedamaian di antara kakak beradik itu, bertahan tidak lebih dari 10 menit.
***
This chapter dedicated for my baby precioushyuck_
Yang tiba-tiba tengah malem ngechat "Mah, kayaknya belum bobok ea?"
Wkkkkk
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Lies
FanfictionSetelah kehilangan cinta pertamanya - yang ternyata lebih memilih sahabatnya -, Haera Chandra Pratama tidak pernah kembali berusaha memiliki hubungan dengan siapapun. Hingga ketika akhirnya sang sahabat menanyakan mengenai statusnya, Chandra terpak...