58.

3.5K 506 42
                                    

Chandra tidak ingat sudah berapa kali dirinya menghela napas panjang jika tidak diingatkan oleh rekan kerjanya. Membuatnya tergesa menganggukkan kepalanya canggung karena sudah mengganggu. Bertepatan dengan ojol pesanannya yang tiba sehingga dirinya tidak perlu berlama-lama berada 1 tempat dengan rekannya dan bergegas pulang ke rumahnya.

"Udah dapet sinyal?" Chandra tidak dapat menahan rasa kesalnya saat kekasihnya meneleponnya, tepat setibanya di rumah. Panggilan kelima karena dirinya baru saja kembali dari membasuh tubuhnya. Kalimat yang seharusnya mengutarakan rasa rindu nya justru berubah menjadi tuduhan yang menyudutkan.

"Kok kamu ngomongnya gitu?" Nada defensif terdengar dari kata-kata pria di ujung sana, tidak terima dikatai begitu saja. Meskipun dirinya memang salah karena terkadang lupa memberi kabar kepada kekasihnya, seharusnya bukan begini cara sang gadis menyapanya setelah lama tidak bercengkerama.

"Kenyataannya gitu. Kapan sih terakhir Mas telpon saya? Kapan sih kita terakhir ketemu? Kapan terakhir kali Mas ngasih saya kabar?" Keluhnya panjang, mencoba menyampaikan isi hatinya, suaranya sudah berubah sedikit sengau dengan air mata menggenang di kedua pelupuk matanya, mengkhianati usahanya untuk menahannya mati-matian.

"Chan. Promotor saya tuh nyebelin banget. Saya ada seminar beberapa kali keluar kota. Saya juga masih harus tetep mikirin tugas buat mahasiswa saya. Capek banget rasanya. Kadang sampe gak sempet buka handphone." ujarnya membela diri, yang jauh di lubuk hatinya disadari bahwa kesalahannya juga tidak sering memberi kabar kepada Chandra.

"Mas gak bilang ke saya apapun." jawabnya sambil menggigit bibirnya, merasa sesak di dalam dadanya. Chandra lalu menghembuskan napasnya perlahan-lahan. Membuatnya semakin membenci dirinya sendiri.

"Yaa emang kalau saya bilang ke kamu, masalah saya selesai?"

"Ya seenggaknya saya tau kabar Mas. Saya tau kalau saya harus nunggu Mas. Coba saya tanya, Mas udah berapa tahun gak pulang? Saya juga gak nuntut Mas selalu ada buat saya. Tapi seenggaknya Mas tuh bilang lagi apa. Lagi di mana."

"Gak usah berlebihan. Saya pulang kok ke rumah."

"Rumah siapa?" Potongnya cepat. "Mas pikir saya bodoh? Saya sampai ngobrol sama ibu. Nungguin Mas, tapi Mas gak pulang-pulang juga. Mas lihat handphone Mas gak? Ada berapa chat saya yang dianggurin? Ada berapa telpon yang dibiarin? Sesulit apa ngabarin saya, biar saya tau kalau Mas baik-baik aja?"

"Ya... Rumah saya." jawabnya dengan nada ragu, takut jika kata-katanya tidak berkenan di hati sang kekasih.

"Oh rumah yang kamu nyimpen mantanmu itu? Pantes Mas gak pulang-pulang." Sindirnya tajam, meluapkan kekesalannya.

"Kok jadi bawa-bawa Henny sih? Udah gak ada dia lho ya."

"Gak tau. Mungkin karna dia tau rumah Mas, saya enggak. Mungkin karna saya capek nungguin Mas gak ada kabarnya. Atau mungkin Mas yang udah capek sama saya?" Serunya penuh emosi, lalu menutup panggilan telponnya, terisak memandangi ponselnya. Membiarkan emosi menguasainya, membuatnya merasa sesak. Beberapa kali panggilan kembali terjadi tetapi Chandra memilih mengabaikannya.

"Kamu maunya apa sih?" Desis Mark setelah 5 kali panggilan videonya diabaikan. Nada suaranya terdengar lelah, tapi tetap berusaha menekan emosinya demi gadis yang sudah bersimbah air mata di ujung sana.

"Gak tau." Jawab Chandra di tengah sesenggukannya. "Saya yang harusnya nanya, Mas maunya apa? Kalau Mas capek ngadepin saya, bosen sama saya. Bilang. Saya udah pernah bilang, saya tau caranya mundur." Sejujurnya Chandra benci mengeluh dan terlihat tidak berdaya seperti ini, tapi waktu yang dilaluinya tanpa kabar dari sang kekasih jelas membuatnya limbung. Syukurlah hal itu tidak sampai mempengaruhi kinerjanya di kantor. Mark menatap pipi tirus dan mata sembab kekasihnya, membiarkan rasa bersalah yang seharusnya menghinggapinya pergi. Tidak, toh ini semua untuk kebaikan mereka berdua.

Perfect LiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang