61.

3.9K 492 52
                                    

Mark menatap kekasihnya yang masih bercanda dengan seorang pria sambil tersenyum. Menjemput Chandra sepulang kerja, ini bukan pertama kalinya Mark mendapati pria itu menemani Chandra menunggunya. Awalnya Mark masih bisa menerima alasan Chandra yang menyebutkan bahwa pria itu hanyalah teman. Tetapi semakin lama Mark semakin kesulitan mempercayai pria itu, yang selalu setia menemani Chandra setiap kali harus menungguinya menjemput. Kalau memang hanya teman, kenapa pria itu selalu menemani Chandra?

"Seneng ya nungguin masnya ditemenin cowok ganteng?" sindir Mark tatkala mereka sudah duduk berdampingan. Melajukan mobilnya perlahan, Mark melirik ke arah gadis yang menatapnya heran. Matanya membulat dengan tawa yang terlihat jelas di binarnya.

"Jangan sampe Bintang denger dipuji ganteng. Bisa gede kepala tuh anak." Bukannya merasa tersindir, Chandra justru tertawa mendengar kalimat yang diucapkan Mark. Sejak kapan Mark bisa mengakui pria lain tampan?

"Kamu jangan deket-deket sama dia lah." Ujar Mark, menggerutu. Kesal karena kekasihnya tidak menangkap apa yang dimaksudnya dan justru menganggapnya bercanda.

"Mana bisa sih, orang satu kerjaan." Jawab Chandra ringan, masih belum menganggap serius obrolan kekasihnya

"Terserah ya, Mas gak suka pokoknya."

"Lah Mas, kita itu sama-sama kerja. Mas pasti tau kita bakal ketemu orang. 8 jam sehari, 6 hari seminggu. Gak bisa cuma berinteraksi ke sesama jenis aja. Masa Mas mau cemburu sama semua cowok yang deket sama Chandra?"

"Ya tapi dia suka sama kamu." Protes Mark ketus. Membuat yang lebih muda mengernyitkan tidak suka dengan nada suara yang dikeluarkan Mark. Mengalihkan pandangannya ke arah pria di sebelahnya, Chandra mendapati rahang Mark mengeras dan mencoba tidak terpengaruh emosi pria di sampingnya.

"Kan Chandranya enggak Mas. Lebih gak mungkin lagi kalau Chandra bilang ke orang buat gak boleh suka sama Chandra. Memang perasaan bisa diatur? Inget dong Mas, bukan cintanya yang salah, tapi tindakan habis cintanya. Selama Chandra gak nanggepin, selama Chandra gak punya rasa yang sama, harusnya kan ya itu cukup."

"Tapi cowok itu tuh agresif ngedeketin kamunya."

"Di mana agresifnya sih? Dia itu cuma ngajak ngobrol aku lho." Chandra mendesah lelah. Setelah seharian bekerja, pertemuannya dengan Mark bukannya membuatnya merasa lebih baik, malah justru membuat mood-nya semakin down. Mungkin benar saran orang tua jaman dahulu untuk melakukan pingitan kepada calon pengantin. Hal kecil selalu menjadi besar ketika mereka bertemu, seperti saat ini. "Mas, kita cuma tinggal seminggu lagi jadi suami istri. Tapi kalau masalah kayak gini masih gede-gedein, coba Mas pikir ulang deh."

"Kamu mau batalin nikahan kita?" Nada tenang Mark sedikit menakuti Chandra, terutama karena pria itu menggeratakkan giginya. Terlihat dengan jelas menahan emosinya.

"Aku gak bilang gitu ya." Elak Chandra cepat. Ketakutan semakin merayapinya, terlebih saat kecepatan mobil yang dikendarai Mark perlahan semakin naik.

"Tapi kesimpulannya gitu kan?

"Mas pernah ngerasa capek gak sih? Mas cemburu sama orang, kita berantem, Mas minta maaf, kita baikan. Tapi nanti diulangi lagi. Begituuuu terus siklus kita."

"Jangan coba-coba batalin pernikahan kita ya. Udah tinggal seminggu."

"Tuh kan, Mas tuh gak dengerin omongan Chandra. Panjang lebar omonganku, Mas nangkepnya beda."

"Gak usah minta turun kamu." ancamnya pelan. Emosinya sudah menyurut meski terpengaruh kalimat gadis di sebelahnya. Persiapan yang sudah hampir selesai, akan berantakan begitu saja karena hal sepele.

Perfect LiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang