sembilan

8.8K 323 11
                                    

"Ji...min."
.
.
.
.

Tanpa sadar Serenia meremat rok panjangnya. Tubuhnya seketika gemetar, bukan karena takut. Ia hanya tegang. Sangat tegang. Karena Jimin, orang yang paling ia hindari kini berada di camp milik Vein.

Saking gugupnya hingga akhirnya ia berdiri. Berjalan mondar-mandir dengan gelisah. "Apa yang dibicarakan Jimin dengan Vien, ah sial bagaimana kalau Jimin tau aku di sini?" batin Serenia.

Kegelisahannya bahkan memunculkan titik-titik keringat dingin di dahinya. Ia menggigit-gigit bibir bawahnya sambil memukul-mukulkan kedua tangannya pada tangan miliknya sendiri, sementara kakinya masih bergerak gelisah dan mata indahnya bergerak liar mencoba mencari celah untuk bersembunyi atau bahkan lari jikalau tiba-tiba Jimin ikut masuk dengan Vien.

Jantungnya berdebar kencang, sungguh ia belum siap menampakkan diri di depan Jimin tunangannya, meskipun ia tau tak selamanya ia bisa menghindar, apalagi sekarang ia berada dalam satu wilayah yang sama.

Ah Seokjin, haruskah ia memanggil iblis itu untuk membawanya pergi. Tapi lebih dari pada itu Serenia justru makin penasaran dengan apa yang Vien dan Jimin perbincangkan.

Guna menjawab rasa penasaran yang makin mengusik hatinya akhirnya membuat Serenia mengambil keputusan yang tak seharusnya ia ambil.

Serenia melangkah mendekat, mencoba menguping dari balik tirai, samar-samar ia bisa mendengar bagaimana mereka bercakap mengenai Viera yang akan ikut panahan dan perburuan besok, karena ternyata mereka satu team.

Dengan menambah keberaniannya Serenia mulai mempertajam pendengarannya kala dua orang bangsawan itu tampak seperti berbisik hingga suara yang dapat Serenia dengar terasa makin kecil.

Entah karena terlalu terfokus  atau karena ia sedikit ceroboh hingga tanpa sadar Serenia melupakan sesuatu yang cukup berbahaya yang mengintainya sejak tadi. Hingga ketika Serenia benar-benar lengah makhluk itu menerkamnya.

"Akkhh!!" ia berjengit mundur. Kakinya berdarah, dilihatnya seekor ular dengan kilatan kemarahan di matanya menegakkan badan siap menyerang sekali lagi.

Sementara itu Serenia juga dibuat makin panik karena ia mendengar Jimin menanyakan perihal suara berisik dari arah kemah pribadi Vien.

"Asshh siall!!" ringis Serenia sambil menyeret kakinya mundur perlahan dan waspada, takut kalau ular besar itu akan menyerangnya lagi.

Dengan meraba-raba Serenia mencoba mendapatkan senjata apapun yang mungkin bisa ia gunakan untuk bertahan.

Dilihatnya ular dengan ukuran tak wajar itu bergerak berlahan, yang awalnya ular itu hanya bergelung ditempat, kini ular besar itu bergerak perlahan mendekat ke arah Serenia.

Serenia mengambil ancang-ancang dari bertahan siap untuk menyerang walaupun menyerang dengan tangan kosong itu percuma, karena ia tak menepukan apapun selain sebuah pedang yang ada di atas meja yang sialnya ada dibelakang si ular besar.

Apakah ini saatnya ia akan mati?

Tidak dendamnya bahkan belum terbalaskan dan ia tak ingin mati sebelum semua keinginannya terpenuhi.

Prang.

Bunyi barang jatuh terdengar keras kala ular itu menyerang dengan cepat sementara Serenia berlari berusaha untuk menghindar.

Ular besar itu membelit tubuhnya.

"Aakhh." tubuh Serenia terasa di tekan di mana-mana, sebelum ia benar-benar remuk karena lilitan ular  itu, dengan segala cara ia berusaha menyentuh tanda perjanjiannya.

"Seokjin tolong aku." lirihnya kemudian terkulai lemas.

Sial.

Kenapa tak sedari awal ia melakukannya.

Kenapa justru setelah ia hampir hilang kesadaran sepenuhnya.

Tanda perjanjian itu sedikit bersinar, tubuh Serenia jatuh tepat dipangkuan Seokjin.

Iblis itu mengerutkan dahinya berfikir tentang apa yang membuat Serenia terkulai tak sadarkan diri, sementara ruangan itu kosong.

Ia menajamkan penglihatannya, matanya berkilat merah, sebelum akhirnya tersenyum iblis.

Ada asap tipis bergerak menyusup ke bawah tenda, bergerak melata seperti ular. Seokjin hendak membasminya kalau saja tidak teringat akan Serenia yang berada dalam pangkuannya tak sadarkan diri.

Maka segera ia menghilang bersama tubuh majikannya.

Sementara itu diluar sana Jimin yang sudah begitu curiga dengan bunyi keributan tadi akhirnya bisa menerobos masuk meski Vien mencegahnya dengan mengatakan berbagai macam alasan yang tak masuk akal menurut Jimin.

"Sudah kukatakan itu tadi hanya kucing liar, lihatlah tempatku benar-benar jadi berantakan, kau tak percaya sekali." ucap Vien tenang.

Suara kucing tiba-tiba terdengar dari balik kelambu kemah itu. Jimin menoleh ke arah datangnya suara "Mungkin kau benar Vien, aku hanya terlalu paranoid karena baru saja kehilangan tunanganku Serenia, jadi aku takut sesuatu yang berbahaya juga mengintaimu."

"Kau baik sekali Jimin, berhubung kau sudah masuk bagaimana kalau kita minum teh sebentar."

"Tidak usah, lain kali saja, lagi pula aku sudah menjelaskan semua rencananya padamu, walaupun kau tak punya etika karena mebiarkanku bicara panjang lebar diluar tanpa mengundang masuk lebih dahulu."

"Ah maafkan aku pangeran, lain kali tak akan ku ulangi lagi." Vien membungkuk hormat, untuk menunjukkan permohonan maafnya. Sementara Jimin hanya terkekeh geli "Ah sudahlah, lagi pula sebentar lagi kita akan menjadi ipar jadi jangan terlalu dipikirkan." ucapnya sebelum membalik badan bersiap untuk pergi.

Baru saja ia melangkahkan tungkainya hendak keluar ruangan itu, ia mendengar bisikan ditelinganya, kemudian dengan ujung matanya ia menoleh ke suatu arah.

Jimin tersenyum tipis "Begitu rupanya." gumamnya dalam hati kemudian melanjutkan langkahnya meninggalkan tempat itu.

Setelah Jimin benar-benar menghilang ia segera menutup tirai tendanya serapat mungkin, kemudian ia mendesis seolah tengah merapalkan sesuatu hingga perlahan sebentuk kabut terbentuk di hadapannya bergelung  seperti seekor ular yang tengah bergelung di tanah atau di bebatuan.

Dan benar saja perlahan tapi pasti kabut itu memang membentuk sesosok ular besar, yang tadi menyerang Serenia.

"Apa yang kau lakukan? Siapa yang memberimu perintah menyerang Serenia?" Vien mengarahkan pedang peraknya keleher ular itu.

"Maaf tuan, wanita itu berusaha menguping pembicaraan anda." jawb si ular yang kini telah berbentuk setengah manusia.

"Jadi karena itu kau menyerangnya? Lalu sekarang di mana dia? Jangan katakan kau menelannya. Cepat jawab sebelum aku penggal lehermu."

"Ja..ngan tuan Vien, gadis itu aku..aku tidak memakannya karena tad, tiba-tiba saja aku merasakan kedatangan Raja Scrates jadi aku menghilang."

"Raja Scrates? Maksudmu...dia?"

"Benar tuan Vien...sepertinya gadis itu mengikat janji dengan raja Scrates penguasa dunia bawah."

Vien terdiam.

Ia menurunkan pedangnya dari leher ular siluman itu kemudian ia duduk di tempat duduk Serenia tadi sambil memandang secangkir teh camomile di yang tadi sempat diteguk oleh Serenia.

Vien tersenyum mengerikan "Ini jadi semakin menarik." gumamnya.

Kemudian ia menatap wanita berparas cantik dengan pakaiannya yang seksi berdiri di hadapannya. Ia pun tersenyum kemudian menepuk-nepuk pahanya

"Kemarilah adikku Viera, aku memaafkanmu, sekarang mari kita bersenang-senang, sayang."

Tbc.

Tiba-tiba saja aku pengen up lagi.

Walaupun pendek semoga kalian suka dan makin penasaran sama cerita ini.

So don't forget tinggalkan jejak biar aku makin semangat buat up kelanjutannya.

Makasi.

My Guardian DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang