Iqbaal merasa tidurnya terusik saat cahaya matahari pagi menembus kaca jendela dan sinar yang menerpa wajahnya. Ingin merenggangkan otot-otot nya yang kaku namun terhenti saat tersadar lengan kiri nya sedang menjadi bantalan kepala (Namakamu) yang masih tertidur lelap dalam pelukannya.
Tersenyum kecil saat mengingat kejadian semalam antara dirinya dan (Namakamu). Iqbaal awalnya hanya berniat menghapus jejak yang di tinggalkan oleh Sydney dan mengganti dengan tanda dari dirinya. Tetapi Iqbaal tidak bisa berhenti terlebih dengan sikap (Namakamu) yang seakan pasrah.
Iqbaal tak berbohong jika (Namakamu) sangat bisa memuaskan dirinya. Bahkan berkali-kali Iqbaal tanpa ampun menghentikannya walau (Namakamu) sudah lemah, istri kedua nya itu tidak melawan atau menolak nya karena kelelahan.
Tangan kanannya bergerak menepikan helaian rambut yang menutupi wajah (Namakamu) yang cantik alami. Jemari nya mengelus pelan pipi (Namakamu) yang lembut. (Namakamu) memang cantik, tetapi Iqbaal tetap teguh dengan pendiriannya bahwa Vanesha lah yang paling cantik.
Tak seharusnya (Namakamu) berada di posisi yang seperti ini. Terlebih jika mengingat kejadian kurang ajar semalam di kantornya. Wanita ini pasti mengalami trauma. Masalah model Iqbaal mengganti dan menyerahkan semua nya pada Bastian, sekretarisnya.
Tubuh (Namakamu) menggeliat pelan. Iqbaal menjauhkan tangan kanannya. Memperhatikan (Namakamu) yang mulai bangun dengan mengerjap-ngerjapkan matanya pelan, lucu pikir Iqbaal. Seakan tersadar sedang di perhatikan, (Namakamu) mendongakkan kepalanya. Mendadak kedua pipinya terasa panas. Reflek ia kembali menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Iqbaal yang polos.
Iqbaal terkekeh geli dengan tingkah polos (Namakamu). Iqbaal mendekatkan mulutnya pada telinga (Namakamu). "Terimakasih"
Tak ada respon dari (Namakamu), Iqbaal menjauhkan kepalanya. Tangan kanannya merayap masuk dalam selimut memeluk pinggang (Namakamu). Iqbaal menyadari jika tubuh (Namakamu) menegang.
Dengan ragu (Namakamu) memberanikan diri memandang wajah Iqbaal. "Buat apa?"
Iqbaal menyeringai. "Yang tadi malam"
(Namakamu) merenggut diam dengan pipi yang bersemu. "Mas nggak kerja?"
"Nggak."
"Kenapa?"
"Saya bos nya."
(Namakamu) merutuk dalam hati menyesal sudah bertanya. Iqbaal begitu sombong pikirnya. Kedua nya terdiam. Iqbaal sibuk memandangi (Namakamu) dengan pikiran menuju pada Vanesha. Sedangkan (Namakamu) bingung harus melakukan apa. Dirinya ingin mandi tetapi malu untuk bergerak terlebih dengan tubuh yang polos tanpa sehelai benangpun. Mulutnya juga ingin bertanya apakah Iqbaal akan terus disini? Apa yang harus ia masak untuk Iqbaal?
"Mas"
"(Namakamu)"
Secara bersamaan yang tanpa di sengaja kedua nya saling memanggil hendak berbicara. Iqbaal mengulum senyumnya.
"Kamu aja. Ada apa?" Ucap Iqbaal
"Enggak penting kok. Mas aja yang duluan" tolak (Namakamu)
"Saya tidak suka di bantah (Namakamu)" Iqbaal menaikkan alis kanannya
"Mas mau makan apa? Nanti biar aku masakin" Tanya (Namakamu) pelan
"Emang nya kamu bisa masak?" Tanya Iqbaal balik
Mendadak (Namakamu) diliputi rasa kesal. Jika dirinya tidak bisa masak, pasti dirinya sudah tak bernyawa akibat kelaparan.
"Bisa Mas."
Iqbaal terdiam memikirkan apa yang akan ia makan nanti. Dia juga berpikir bahwa selama menikah dengan Vanesha, dia tidak pernah di tawari seperti itu oleh Vanesha. Istri pertamanya itu tidak pandai dalam urusan dapur. Jadi ia mempercayakan semua nya pada asisten rumah tangga mereka.