Iqbaal melangkahkan kaki nya lebar-lebar dan berjalan dengan tergesa-gesa agar ia bisa segera sampai pada kamar VVIP tujuannya. Setelah bertanya pada resepsionis di bawah dan mengetahui dimana istrinya di tempatkan, tanpa membuang waktu ia memasuki pintu lift yang sepi.
Iqbaal melirik jam tangannya yang menampilkan pukul 20.20. Pantas saja terlihat sepi, pikir Iqbaal tak ambil pusing.
Senyum nya kembali merekah ketika matanya menemukan kamar yang ia cari. Tangannya terjulur membuka knop pintu.
"Assalamualaikum"
Iqbaal menutup kembali pintu tersebut.
"Waalaikumsalam"
Iqbaal mengalihkan pandangannya. Ada Irzan yang duduk santai di sofa dengan jas putih dokter miliknya yang tersampir di sandaran sofa. Sepupunya itu menatap nya dingin.
"Ngapain lo disini Zan? Teteh mana?" Tanya Iqbaal heran
Irzan seakan naik pitam mendengar pertanyaan Iqbaal. "Lo masih tanya ngapain gue disini? Ya jaga (Namakamu) lah! Lo kira Teteh nggak butuh istirahat? Dia juga ada tanggung jawab nya sebagai dokter!"
Iqbaal terdiam mencerna ucapan tajam yang Irzan tujukan padanya. Kenapa sepupu nya yang satu ini tampak marah?
"Kemana aja lo seharian ini hah?!" Tanya Irzan tak santai
Iqbaal yang berdiri di depan pintu itu pun menjawab. "Ada. Gue sama Shasha. Dia baru pulang"
Irzan tersenyum sinis dan bangkit dari duduknya. "Bisa-bisa nya lo bertingkah seakan-akan dunia cuma ada lo dan Shasha. Lo nggak inget sama (Namakamu)? Dia lagi hamil anak lo!"
"Kenapa lo jadi marah gini sih, Zan? Lo kenapa?" Tanya Iqbaal yang mulai terpancing emosi
"Lo--""
"M-mas.."
Baru saja Irzan akan mengeluarkan suaranya, sebuah suara lembut membuat Irzan dan Iqbaal mengalihkan pandangan mereka pada seoeang wanita yang terbaring lemah di atas brankar.
Iqbaal melangkah mendekati (Namakamu) yang mencoba untuk bangun namun ia cegah.
"Kamu istirahat ya? Jangan banyak gerak dulu. Anak kita juga harus istirahat." Ucap Iqbaal lembut membuat (Namakamu) bingung tak mengerti
Irzan tersenyum tipis melihat (Namakamu) yang sudah bangun dari tidurnya. Ia mengambil jas putih nya dan keluar dari ruangan ini. Membiarkan Iqbaal bersama istri nya.
"A-anak?"
Iqbaal mengangguk. "Iya. Disini," tangan kanan Iqbaal menyentuh dan mengusap pelan perut datar milik (Namakamu). "Ada anak kita."
(Namakamu) memandang Iqbaal berkaca-kaca. Tangan kirinya ikut naik atas ke permukaan perutnya, meremas pelan tangan Iqbaal yang masih mengusap perutnya.
Iqbaal menarik kursi agar lebih dekat dengan (Namakamu). Menjauhkan tangannya dari perut sang istri tetapi meraih tangan kanan (Namakamu) yang bebas dari jarum infus.
"Aku minta maaf atas sikap aku ke kamu minggu-minggu kemarin. Aku bingung sama perasaan aku sendiri (Namakamu). Maaf kalau aku kesannya nggak peduli sama kamu. Maaf" ucap Iqbaal dengan guratan penyesalan
(Namakamu) tersenyum lembut yang membuat dada Iqbaal membuncah dengan perasaan bahagianya. "Iya Mas. Aku juga minta maaf udah buat Mas Iqbaal marah sama aku"
"Aku seneng (Namakamu). Seneng banget. Makasih. Akhirnya impian aku bakalan terwujud lewat kamu. Nanti bakalan ada yang manggil aku dengan sebutan 'Ayah'." Iqbaal memandang (Namakamu) lekat dengan senyuman keduanya yang tak luntur