Jauh dari suami tercinta, memanglah sungguh menyesakkan hati Mayang. Rasanya perih, di lilit tambang rindu yang tak dapat tersampaikan. Ingin bertemu, sungguh tidak mungkin. Ingin berbicara, tidak ada jembatan komunikasi, setiap waktu hati bertanya bagaimanakah kabar "dia" yang jauh disana.
Belum lagi, setelah Angkasa pergi, Mayang harus tinggal kembali di kampung, bersama orang tuanya. Angkasa dan orang tua Mayang, tidak mengizinkan wanita itu tinggal sendiri. Mengingat Reno masih sangat kecil, bahkan belum bisa berjalan. Dan lagi, Mayang pun sedang mengandung anak keduanya.
Tetapi, tinggal di kampung, justru memiliki tekanan tersendiri bagi Mayang. Kata rodan, tatapan sinis, suara sumbang, harus di tahan oleh Mayang.
"Ndelok iku si Mayang, jauh-jauh sekolah di kota, ndak jadi apapun."
"Nggeh, anak belum umur satu tahun, rumah tangga sudah berantakan."
"Tapi, bukanne suami Mayang tugas di luar negeri yo?"
"Paling cuma alesan untuk tutupin aib. Malu memang kalau ketahuan tetangga."
"Iya, kalau memang suaminya di luar negeri, kenapa ora ikut saja si Mayang? Apa lagi, dia pun lagi berbadan dua."
"Mayang iku contoh yang ndak bener. Baru 20 tahun, udah jadi janda. Bisa bawa pengaruh buruk dia sama anak-anak kita."
"Lebih baik, Mayang teh di usir saja dari kampung ini."
"Nggeh, merajalela nanti dia. Anak-anak kita juga, jadi ikut-ikutan. Dia udah rusak karena pengaruh lingkungan di kota."
"Iyo, aku setuju. Lebih baik Mayang ndak usahlah tinggal di kampung sini,"
Suasana hati tercipta karena pikiran. Ibu-ibu tetangga Mayang, mulai panas hatinya. Tidak ingin melihat Mayang berada di kampung mereka.
Mereka yakin sekali, bahwa rumah tangga Mayang sudah hancur berantakan. Mayang pun sudah di pulangkan ke rumah orang tuanya. Mereka yakin, prilaku Mayang buruk, maka ia di pulangkan. Dan lagi, kandungan Mayang pun di pertanyakan. Karena saat Mayang pulang ke kampung, perutnya masih rata. Namun kini, sudah tampak membesar.
Sesungguhnya, tingkah centil Mayang dan paras cantiknya lah yang membuat banyak orang tidak suka padanya. Berpikir bahwa Mayang merupakan tipikal wanita yang suka cari perhatian dengan bersikap sok centil seperti itu. Padahal, itu merupakan karakter bawaan dari dirinya sendiri. Ia ramah, senang menyapa dan tersenyum, pula tipikal periang. Tetapi, justru salah di mata tetangga.
Apa lagi, setelah Mayang menempuh pendidikan di kota, kedengkian dan iri hati semakin menyelimuti orang-orang yang tidak menyukai Mayang. Mayang orang pertama yang begitu beruntung bisa mengenyam pendidikan di kota.
Di desa mereka, lulus dari sekolah menengah atas saja, sudah sangat terpandang. Akses ke kota sangat jauh. Dan hanya ada sekolah dasar di kampung itu. Belum lagi, kondisi keuangan warga yang mayoritas menengah ke bawah. Membuat mereka kembali berpikir untuk menyekolahkan anak di kota. Apa lagi, di kota besar seperti di tempat Mayang menempuh pendidikan.
Dan mereka semakin geram terhadap Mayang, setelah tahu jurusan apa yang ia ambil di perkuliahan. Mereka merasa, jika hanya memasak saja, di dapur sendiri pun bisa. Tidak perlu mengeluarkan biaya besar dengan bersekolah sampai di kota. Mereka menyayangkan, kenapa harus tata boga? Kenapa harus memasak?
Dan kedatangan Mayang yang kembali ke kampung, membuat mereka merasa sia-sia Mayang bersekolah disana. Toh, akan kembali ke kampung lagi. Dan lagi, status 'janda' cantik yang tersemat bagi Mayang di benak mereka, membuat para kaum wanita was-was. Jangankan tersenyum ramah, melirik, atau bahkan hanya sekadar lewat saja, Mayang sudah di kira mencari perhatian. Sungguh, menjadi cantik dan baik, justru mendatangkan hal buruk bagi Mayang.
Alhasil, dengan bermodalkan keberanian dan dukungan bersama, mereka pun mendatangi kediaman Tejo. Menuntut agar Mayang segera di bawa pergi dari desa.
"Pak Tejo! Keluar! Kami mau bicara!" Teriak mereka sahut-sahutan dan sangat tidak sabaran.
Tejo, Fatma dan Mayang yang mendengar suara gaduh itu pun lantas keluar dari rumah. Menghampiri ibu-ibu yang menyambangi rumah mereka.
"Ono opo iki?" Tanya Tejo heran.
Mayang memperhatikan tatapan tak menyenangkan para ibu-ibu itu. Entah apa salah Mayang, kenapa dirinya selalu di usik. Kenapa selalu saja dia jadi permasalahan bagi orang-orang yang bahkan tidak ia pikirkan.
"Kami mau ngomong, Pak Tejo. Jadi, kami ibu-ibu iki, minta agar Mayang segeralah keluar dari kampung iki!"
"Iyo! Mayang pergi dari sini!" Ucap mereka sahut-sahutan.
Wajah Mayang memucat. Ia tidak tahu kesalahan apa yang sudah ia perbuat, hingga ia harus di usir dari kampung halamannnya sendiri. Padahal, ia dalam kondisi mengandung saat ini. Orang-orang ini sungguh kejam terhadap Mayang.
Mayang menggenggam erat lengan ibunya, berusaha mencari perlindungan. Ia takut, memikirkan bagaimana dirinya setelah ini.
"Tenang dulu! Tenang dulu ibu-ibu!" Seru Tejo namun mulut berisik mereka tampak tidak dapat di atur. Terus saja berucap sesuai kehendak mereka.
"Salah anak aku opo? Kenapa dia harus pergi dari kampung ini?!" Tanya Tejo yang tersulut emosi.
"Iku anakmu si Mayang, perempuan ndak bener! Baru satu tahun nikah, wes cerai! Hamil anak orang! Iku aib!"
"Nggeh! Kami ndak mau nanti anak-anak kami jadi ikuti jejak anakmu iku!"
"Kami ndak sudi lihat dia! Dia iku contoh yang ndak baek. Lebih baik dia pigi dari kampung iki!!"
"Iya! Nggeh!" Mereka satu sama lain mendukung perkataan mereka masing-masing. Hanya dengan satu tujuan, yaitu agar Mayang segera di usir dari kampung mereka.
Mayang menggelengkan kepalanya tidak habis pikir. Bagaimana bisa orang-orang itu menarik kesimpulannya sendiri. Bahkan mereka main hakim sendiri dan dengan tega ingin mengusir Mayang tengah berbadan dua.
Inilah risiko yang harus Mayang tanggung selama jauh dari suami. Orang-orang selalu mempertanyakan tentang rumah tangganya. Orang-orang selalu mencap status janda padanya. Dan yang lebih parahnya, lewat saja, Mayang di kira mencari perhatian.
"Cerai opo ne?! Menantu saya iku lagi di luar negeri! Makane-"
"Ndak usah bohong, Pak Tejo!" Sela mereka. Menganggap diri merekalah yang paling maha tahu dan maha benar. "Suami ne Mayang iku tentara, kerja ya di Indonesia. Ndak bisa iku pigi-pigi ke luar negeri lama-lama!"
Mereka terus menyerang Tejo dan keluarga. Apapun yang di jelaskan Tejo, selalu di sangkalkan oleh mereka. Perang mulut pun tak terelakkan lagi.
Mayang pun lantas masuk ke dalam rumahnya. Ia sudah habis kesabaran meladeni dan menerima semua cercaan orang-orang itu. Ia mengangkat gagang telepon, dimana kini rumah Mayang sudah memiliki telepon pribadi. Ia pun, menghubungi markas terdekat dan meminta bantuan.
Markas yang sudah di bangun beberapa tahun lalu, begitu dekat dengan desa Mayang. Tidak sampai 10 menit, sudah bisa di jangkau dengan mudah.
Saat mereka tengah berargumen dan beradu mulut, bahkan kepala desa pun sudah turun tangan untuk menenangkan, tiba-tiba semua di kejutkan dengan kedatangan aparat dari markas terdekat.
Rasakan kalian semua! Berani sekali kalian karo aku! Aku, istri Komandan Angkasa! Batin Mayang.
......
Belum janda aja mayang udah berasa jadi ancaman di mata tetangga 😂😂
Komandaaaan, istrimu di tolonginlah..Jangan lupa vote dan komen yaa..
Makasih 💜
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkasa
RomanceAngkasa. Dari namanya saja, tempatnya begitu tinggi. Tak mampu tangan ini meraihnya. Walau ke bukit manapun ku daki, tetap dia begitu tinggi tak terjamah. Dirinya penguasa, dirinya pelindung, hanya saja.. aku menaruh rasa. Angkasa. Ingin ku gapai...