16. Bukti

709 24 0
                                    

HAPPY READING
.
_________________

Di siang yang tengah diguyur lebatnya hujan beserta angin yang berhembus membawa rintik demi rintik air tak tentu arah. Meratakan setiap sudut bumi yang kala itu disirami.

Angin berhembus membawa sepercik air mengenai cendela dan benda benda lain yang tak terlindungi dari derasnya hujan.

Air jatuh didepan cendela dan merosot ke bawah sampai kembali jatuh menitik ketanah. Berulang kali seperti itu sampai cendela yang tadinya buram akibat polusi kini perlahan membersih dengan sendirinya.

Untung saja hujan tak dapat masuk melewati cendela yang terbuka sedikit itu sehingga tidak membuat basah seorang pria yang duduk di dekat cendela dengan ponsel pintar di tangannya.

Ia membuka cendela sedikit supaya bisa menghirup udara segar dari sang hujan agar tidak selalu menghirup bau obat obatan yang selalu menyengat membuatnya jenuh.

Tapi apa daya namanya juga rumah sakit. Pasti dan akan selalu memiliki bau obat obatan yang kuat bahkan meski sudah ada pengharum ruangan sendiri.

Bosan?

Sudah pasti. Tapi ia hanya menurut apa kata dokter yang baru mengizinkannya pulang dua hari lagi. Sangat menjengkelkan.

Ia tak sabar pulang untuk mengorek bukti dan membawa istri serta anaknya kedalam pelukannya kembali.

Angga menghela napas dan menarik senyum melihat betapa nyenyaknya putranya tertidur diatas ranjang milik istrinya.

Andai saja ia disana. Pasti ia tidak akan keluar kamar hanya karena ingin terus memandang buah hatinya yang bahkan lahir tanpa kehadirannya.

Memikirkan hal itu membuat dada Angga Sesak. Rasa bersalah tidak akan ia hapus setelah apa yang ia lakukan. Seharusnya ia pulang lebih cepat tapi setumpuk dokumen yang menggunung menghalangnya.

"Reva udah mandi loh Pa."

Itu suara istrinya yang di nadakan dengan suara anak anak seolah olah Buah hati mereka yang berbicara. Mendengar hal itu membuat senyum Angga masih bertahan di bibirnya.

"Dia ganten banget yang." Lirih Angga.

Selin mengarahkan kamera ponselnya ke wajahnya. Dan terlihatlah wajah wanita yang sudah selama ini tegar menghadapi sikapnya dan sudah berjuang sepenuh hidup untuk mengandung dan melahirkan anak mereka.

"Iyah dong."

"Kayak aku yah." Celetuk Angga usil membuat Selin mencibir.

Lalu mereka berdua terdiam saling pandang sampai Selin mengeryit samar melihat mata Angga berlinang.

"Mas!."

Angga mengerjap memiringkan ponselnya sehingga tidak memperlihatkan wajahnya lalu ia menyeka air matanya berharap air mata yang menggenang itu hilang lalu kembali mengarahkan kamera ponsel kewajahnya.

"Mas, kenapa?" Lirih Selin.

Angga terkekeh. "Nggak papa. Ngantuk ini pasti efek obat."

Selin tersenyum ia mengerti dengan suaminya.

"Mas nggak usah ngerasa bersalah kalau mas tidak melakukan kesalahan. Jangan dipikirin kalau Mas nggak salah yah."

Angga menunduk suara Selin begitu Lembut menenangkan hatinya. "Tapi tetap aja Yang. Aku ngerasa bersalah karena nggak menemani kamu melahirkan Reva." Lirih Angga.

Selin menghela napas. Angga selalu seperti ini.

"Mas. Aku juga ngerti kalo mas waktu itu kerja, aku bisa memahami. Dan yang penting sekarang mas ada waktu Reva sudah lahir kan."

ANTIMEANSTREAM WEDDING (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang