14. Apa Mimpimu?

32 7 0
                                    

"Jadi saya sudah kasih info tentang lomba menulis online dan link pendaftarannya di grup Line, kalau ada yang tertarik mendaftar lomba yang offline, cukup datangin saya. Sekarang ada yang mau berbagi naskah barunya?"

Di klub menulis ini, Jev memang mengusahakan mencari lomba kepenulisan sebanyak-banyaknya. Baik secara online ataupun offline. Dia juga mempertegas peraturan bahwa setiap anggota klub wajib sharing naskah setiap minggunya agar bisa dibaca bersama serta memberi saran. Sekalian biar mereka aktif menulis, sih. Kan itu maksud dari semua alasan mereka

Keren juga ya dirinya?

Sudahlah, itu tidak penting. Dia harus kembali fokus kepada tugasnya di klub ini.

Saat yang lain mulai sibuk membaca cerita satu sama lain, Anin menghampiri Jev. "Mr, saya mau ikut lomba."

Saar Jev menanggapi, Anin mengambil ponsel birunya dan menunjukkan sebuah postingan di Instagram. Sebuah lomba menulis yang sedang membuka pendaftaran. Setelah membaca syarat-syaratnya, sepertinya Jev mengerti apa yang Anin khawatirkan. "Kamu takut kalah?"

Anin menepuk jidatnya. Ternyata dugaan sotoy Jev salah. "Memangnya saya kelihatan seperti itu ya?"

Benar juga, Anin kan termasuk sering ikut lomba, jadi sudah biasa dengan kekalahan. Lalu apa yang ingin dia katakan? "Terus kenapa?"

"Ini kan jangka waktu nulisnya tiga bulan, kira-kira aku—saya maksudnya, bisa nggak ya nyelesain ceritanya? I mean, I never do this so I don't know I can finish it or not.."

Oke, sekarang Jev sepenuhnya paham. Hm, memang sih untuk penulis pemula menyelesaikan sebuah naskah itu sangat susah. Biasanya mereka ketiban ide hingga cerita yang sedang dikerjakan mulai hilang minat atau dilupakan.

"Saya paham. Oh iya, kamu boleh pake 'aku' kok ke saya. Pertama, kira-kira kamu sudah tahu ide ceritanya?" Anin mengangguk.

"Mungkin kita bicarain idemu dulu sampai ending?" tawar Jev. Perempuan itu kembali mengangguk. Dia kembali duduk dan sekarang Jev yang menghampirinya.

Anin menunjukkan bukunya yang berisi ide cerita. Lelaki itu berdiri tepat di samping Anin dan dan membungkukkan punggungnya alih-alih menunduk sehingga wajah mereka jadi agak dekat. Anin tidak menduga yang macam-macam karena sudah terlalu gugup dengan ceritanya.

"Tema ceritamu tentang apa?"

"...Mimpi?" ragu Anin.

Jev mengernyit. "Kenapa kamu ragu?"

"Takut idenya jelek.." gumam Anin. Dia tidak berani mengatakannya dengan lantang, tapi Jev bisa mendengarnya dengan jelas. Dia mengambil buku tersebut dan membaca semuanya.

"Idemu nggak jelek, kok. Mungkin cuma perlu beberapa hal yang harus dikembangkan selama kamu tulis. This is enough."

Anin bernafas lega.

"Tapi, nin, kalo boleh saya tahu, apa mimpimu?"

Pertanyaan itu mampu membuat Anin berpikir berulang kali. Mimpi. Satu hal yang tidak pernah ia pikirkan. Hal yang dia pikir bukan sesuatu yang perlu. "Aku nggak punya mimpi, sih.."

"Cita-cita?"

"Jadi akunting?" Bahkan nadanya juga terdengar ragu. Jev mengerti kenapa jawabannya adalah akunting. Sebenarnya Anin tidak tahu dia ingin menjadi apa. Karena mamanya seorang akunting, Anin rasa dia hanya perlu menjadi seperti mamanya. Toh pekerjaan mamanya bisa menghidupi dua orang anak dan diri sendiri.

Sepertinya sudah cukup Jev bertanya mengenai itu. Dia tidak perlu ngomong secara langsung agar anak itu mempunyai kehidupan impian tersendiri, tidak ada gunanya. Dia hanya perlu menggiring Anin secara perlahan agar gadis itu bisa menemukan sendiri makna dari mimpi.

With My Way (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang