30. Perihal Jev

21 4 0
                                    

Memang benar-benar sebuah keajaiban ketika semua orang terlihat biasa dan tidak peduli dengan kehadiran Anin dan Jev di satu tempat. Tidak ada yang berpura-pura berhenti, berbisik menyebarkan gosip diam-diam—gosip terparah yang Anin dengar sejauh ini adalah dirinya merupakan baby sugar dari Jev. Apa tidak terdengar gila?

Sekarang Anin dan Jev saling berhadapan. Guru itu menaikkan alis kanannya dan menunjukkan kebingungannya. Ketika Anin bingung dengan gosip yang hilang mendadak, Jev lebih bingung karena gadis itu tiba-tiba mengajaknya ngobrol di tengah kerumunan seperti ini. Tidak biasanya Anin melakukan ini karena gadis itu pasti akan menghindar dari keramaian?

Apa ini salah satu efek dari kejadian kemarin? "Nin? Kamu yakin mau ngomong disini? Bukan di kafe biasanya?"

Hm, Anin sengaja membawa Jev kesini hanya untuk memastikan ucapan Artha. Ketika ucapan anak itu sudah konkrit kebenarannya, tidak ada lagi alasan untuk tetap diam di tengah kerumunan begini. Tapi dia lagi nggak punya uang untuk beli kopi.. "Di ruangan khusus, deh."

Tanpa banyak tanya lagi, langkah kaki Jev dan Anin secara bersamaan langsung jalan menuju ruang tersebut. Selama perjalanan, Jev bisa merasakan aura penasaran Anin. Tunggu, bukannya harusnya dia yang penasaran? "Jadi gimana ceritanya?"

"Sebelum aku cerita, Mr dulu yang cerita," suruh Anin langsung.

Kini kedua alit Jev tampak menyatu. "Cerita apa?"

"Siapa diri Mr."

Aku? "Saya ya saya, lah! Manusia biasa, guru inggris sekolah ini, penyuka kopi, ganteng, pinter—"

Gadis itu menghela nafas dan tangannya bergerak untuk mengodekan berhenti. Bukan itu maksudnya. Sepertinya dia harus ngomong lebih jelas lagi. "Jujur aja, Mr bukan manusia, kan?"

???

"Dulu pas aku kecil, Mr pernah dateng sebagai Malaikat Penjagaku, terus menghilang di lemari bajuku. Jadi Mr emang bukan manusia biasa, kan?"

Sepertinya sudah waktunya untuk Jev agar memberitahukan identitas dirinya. Toh memang bukan larangan dari Sang Pencipta, dan dia sudah pernah mengaku juga sebelumnya. Buat apa berbohong juga?

Jev menyunggikan senyuman miring yang terlihat misterius. Kalau begini, dirinya malah kelihatan seperti iblis tampan yang ada di novel Wattpad. "Kamu sudah ingat saya, ya? Bagus, deh?"

Matanya terbelalak saat mendengarnya. Sebenarnya dia sudah menduga ini, juga mengatur ekspresi sebisanya. Tapi begitu mendengar kalimat tersebut, dia masih tidak cukup pintar mengatur ekspresinya. "Wah? Malaikat Penjaga itu beneran ada, ya? Kukira cuma di drakor aja."

"Kebanyakan fantasi drakor yang tentang malaikat dan reinkarnasi itu benar, Nin," ceplosnya. Ah, Jev baru ingat bahwa tidak seharusnya dia mengatakan hal seperti itu. Cukup Anin tahu kalau Malaikat Penjaga itu nyata. Sayangnya Anin sudah keburu mendengarnya.

"Oh ya? Kalau gitu kehidupanku sebelumnya kayak gimana? Jadi orang kaya? Miskin? Jalang? Atau..?"

Tidak, jangan sampai dia keceplosan lagi. "Ntahlah, saya yang malaikat rendahan nggak bisa baca kehidupanmu yang sebelumnya."

Setidaknya Anin sudah kelihatan puas dengan jawabannya. Dia terlihat memaklumi kebohongan itu. Toh benar tidaknya, dia tidak akan benar-benar tahu.

"Selama ini Mr kemana aja? Dari aku TK sampai SMA ini? Bahkan baru muncul pas aku kelas 12."

Jev hanya membisu dan terus menunjukkan senyuman misterius tersebut. "Penasaran banget, ya? Nggak ah, saya nggak mau jawab."

Kedua mata anin berkedip dua kali sebelum bertanya lagi, "Sudah dilarang dari sana, ya?"

Nggak, sih. "Iya."

Karena Anin bukan tipe orang yang memaksa, jadi dia tidak bertaya lebih. Prinsipnya adalah 'peraturan ada untuk ditaati'. Tapi rasa penasarannya kali ini tidak bisa diam. Dia masih ingin menanyakan hal lain. 

"Sekarang giliran kamu yang cerita." Meski Anin sudah tahu kalau dia bukan manusia, baik Jev atau Anin masih bertingkah biasa seakan-akan itu hanya hal kecil. Eh, tapi harusnya Anin bertanya tentang gosip yang menghilang tiba-tiba, kan?

"Tapi Mr," Anin menyergah. "Mr yang bikin gosip tentang kita hilang, ya?"

"Mr juga punya jentikan ajaib.."

Tanpa Jev sadari, dia memiringkan kepalanya. Berapa hal yang sebenarnya gadis itu sadari? Ternyata tanpa dia beritahu pun, Anin sudah memerhatikan beberapa hal aneh di sekitarnya. Matanya hanya mengerling jahil. "Kamu sudah perhatiin saya sejak kapan?"

"Sejar Mr ikut campur ke kehidupanku seenaknya," sarkas Anin. Tapi kesarkasan itu malah membuat Jev tertawa kecil. "Kamu harus bersyukur lho saya mau ikut campur ke masalahmu."

Anin tidak menjawab apa-apa lagi. Tapi kini pikirannya sudah dipenuhi mengenai Jev sepenuhnya. Makhluk macam apa dia? Apa saja yang selama ini dilakukan? Hal apa yang bisa dia lakukan selain menghilangkan ingatan orang atau membuatnya diam? Apa dia kaya? Dia sudah hidup berapa ratus tahun? Ah, kapan dia mulai hidup? Apa saja tugasnya? Oh iya, kala gitu bagaimana dia bisa lolos seleksi dan menjadi guru Inggris? Terlalu banyak pertanyaan yang berkecamuk di dalam otaknya.

"Saya tahu kamu itu kepo sama saya. Tapi makhluk seperti saya itu bukan sesuatu yang bisa diterima akal sehat manusia, apalagi manusia yang punya kepercayaan kuat. Bisa-bisa saya yang malah dianggap sinting."

"Saya itu sama misteriusnya seperti rahasia langit, tentu saja, kan saya juga bagian dari rahasia langit." Jev makin menjelaskan beberapa hal yang terdengar jelas, tapi tidak terlalu bisa ditangkap oleh Anin. 

"Kalau gitu, aku mau tanya sesuatu."

"Tanya aja."

"Kenapa Mr masuk ke kehidupan aku? Kenapa harus Mr? Kenapa juga harus aku yang dibantu?" Tatapan Anin benar-benar tatapan yang ingin menggali sesuatu yang sudah terlanjur terbuka. 

"Gimana ya ngomongnya.. hng.. takdir? Kebetulan? Takdir berupa kebetulan! Anggap saja seperti itu." Dahi Anin mengernyit, apa guru itu mencoba untuk membohonginya? Itu bukan jawaban untuk pertanyaannya. Jev tidak berbicara lebih banyak untuk menjelaskan hal itu. Mau tidak mau dia hanya bisa berandai-andai. Ketika Anin sibuk berandai, Jev tersenyum sendiri saat mengingatkan hari dimana tugas itu mendadak ditugaskan pada dirinya. Takdir yang berupa kebetulan.. Mungkin memang begitu. Semua malaikatpun tahu tidak ada yang namanya kebetulan, semua sudah diatur oleh takdir yang ditulis.

"Gimana kabar keluargamu semuanya?" Laki-laki itu mencoba mengalihkan.

Pikirannya teralih dan wajahnya membentuk sebuah senyuman simpul, "Aku nggak tahu kalau hari seperti ini bakal ada. Semuanya membaik, seperti dugaan Mr."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
With My Way (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang