27. Mimpi

12 4 0
                                    

Every dream matters

[]

Kalau ada seseorang yang menanyakan apa mimpi Anin, maka Anin hanya akan menggeleng. Seperti yang pernah dia katakan, dia tidak punya mimpi.

Jika orang banyak berkata masa SMA adalah masa pencarian jati diri, mungkin Anin sekarang gagal untuk mencari jati dirinya.

Dia sudah kelas 12, sekarang adalah waktunya menentukan jurusan kuliah yang diminati. Sayangnya dia tidak punya jurusan yang diminati. Dia memilih akunting karena mamanya dulunya begitu. Jadi daripada kehilangan arah sama sekali, lebih baik jika dia meniru pendidikan mamanya.

Hanya saja, di saat yang krisis ini, seorang guru Inggris baru datang. Namanya Jev, Jev... Oh iya, siapa nama lengkapnya ya? Sepertinya tidak ada seseorang pun yang menanyakan nama lengkapnya hingga saat ini. Lupakan, mari lanjut ke topik tadi.

Anin tidak menyangka bahwa kehadiran guru itu seakan-akan menyelamatkan dirinya dari kebingungan akan masa depan. Untuk pertama kali, dia bisa memiliki minat tertentu. Ada sesuatu yang ingin Anin kerjakan selama bisa, yakni menulis. Setidaknya sekarang dia memiliki mimpi untuk menyelesaikan 15 cerita novel. Untuk saat ini sayangnya dia belum bisa menuntaskan. Hanya cerpen-cerpen saja yang berhasil memiliki ending. Tidak apa-apa, dia hanya perlu untuk terus berusaha.

Mungkin dia akan mengambil jurusan sastra. Dia sudah berbicara pada Mila, dan mamanya setuju. Baguslah.

Dan sekarang, ketika Anin kira hanya itu saja yang guru itu akan selesaikan, ternyata tidak. Ada suatu hal yang terus dia ingat sejak kecil hingga sekarang. Bahkan Jev meminta secara tidak langsung kepada dirinya untuk menyelesaikan hal itu. Untuk membuat kedamaian tersendiri pada hati Anin.

Sejak pesan papanya yang salkir, mendadak Anin merasa tidak bisa. Bahkan dirinya menolak apa yang Jev katakan. 

"Selamat tinggal, Anin."

Ugh, kenapa itu jadi terdengar seperti ucapan perpisahan?

Awalnya Anin merasa tidak ada yang salah dengan kalimat terakhir Jev, tapi ketika dia mencoba berpikir dengan kepala dingin, justru dia menemukan hal yang menyesakkan lainnya. Anin kembali ingin mencoba mengucapkan tiga kata itu, tapi kenapa Jev terasa semakin jauh?

Seperti sekarang ini. Dalam seminggu ini, Jev absen sehingga Anin belum ada bertatap muka lagi dengan lelaki itu. Ketika minggu depannya Jev masuk, Jev bertingkah lebih dingin. Seakan mereka tidak memiliki kepentingan lainnya selain pelajaran. Anin mencoba untuk meminta waktu berdua untuk mengobrol.

Tapi gadis itu terlalu gengsi. Huft, gengsi yang tidak perlu dan harus disingkirkan.

"Mr.." panggil Anin di belakang Jev saat lelaki itu berusan keluar dari kelasnya. Saat Jev menoleh, ada kelegaan tersendiri karena dia berhasil menyingkirkan gengsinya. "Aku minta maaf, Mr.."

"Buat?"

"Buat yang di kafe kemarin-kemarin." Anin menghela nafas. Memang dia terlalu sensitif sepertinya waktu itu. Kenapa dia terus merasa kesal karena papanya salah kirim dan tidak benar-benar minta maaf pada dirinya? Bahkan dirinya sebagai anak juga belum benar-benar meminta maaf. "Dan aku mau coba lagi."

"Coba apa?" Jev masih teguh dengan kalimat bernada datarnya.

"Say sorry, give thanks and I love you," Anin menjawab dengan mantap. Begitu lelaki itu menunjukkan senyuman biasanya, Anin merasa dosanya sudah diampuni. 

With My Way (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang