"Ultahnya kakak kapan?" Artha tanya.
Anin melirik jam tangannya sebelum menjawab pertanyaan tersebut. "Masih lama, kok."
Jawaban yang tidak membantu sama sekali. "Iya lama, tapi kapan?"
"5 September." Anin masih terlihat tidak acuh dengan pertanyaan itu. Sedangkan Artha langsung mengambil ponsel dan membuka kalender.
5 September seharusnya kurang dari seminggu lagi, kan? Dan Anin bilang masih lama? Sepertinya gadis itu tidak terlihat tertarik dengan ulang tahunnya.
"Harusnya dia disini 5 menit lagi..." Gadis itu terus menerus melihat jam tangannya. Mereka sudah janjian bertemu di kafe sepulang sekolah. Jadi disinilah Anin dan Artha berada. Dengan seragam sekolah, mereka langsung pergi ke kafe.
Artha bisa melihat jelas sikap Anin yang diam-diam gelisah. Gadis itu melihat jam tangannya setiap 15 detik, lalu mencoba membaca dan mengulangi pertanyaan. Sebagai orang yang bertugas foto saja, Artha tidak perlu segelisah itu. Tapi melihat Anin yang gugup, dia jadi ikutan gugup. Masalahnya, narasumber mereka kali ini adalah tentang alumni sekolah yang lumayan terkenal di masyarakat. Belum lagi setelah ini mereka akan ke tempat latihan atlet basket sekolah yang super sibuk.
"Diminum dulu tehnya," suruh Artha berniat menenangkan Anin sedikit.
"Kelihatan banget, ya?" Anin meringis. "Habis ini ke GOR, ya?"
"Iya. Eh, itu orangnya datang," ucap Artha saat melihat seseorang yang familiar. Mereka berdua refleks berdiri dan menunggu orang tersebut datang ke arah mereka.
"Kalian Anindira dan Artha, ya?"
"Benar," sahut Anin. Artha mempersilahkan orang itu duduk duluan didepan mereka berdua.
Karena ini adalah pengalaman pertama Anin, jadi dia tidak tahu harus berbicara basa-basi yang seperti apa. Banyak hal yang sudah dia siapkan untuk basa-basi, tapi mendadak semua tersangkut di tenggorokan. Beruntung orang yang mereka undang sudah terbiasa menghadapi orang. "Kalian sudah nunggu lama, ya? Maaf saya kelamaan keluarnya."
Kedua tangan Anin melambai mengartikan tidak. "Nggak kok, kita juga baru sampai disini, kak-hng, pak, aduh kita manggilnya apa ya?"
Sikap Anin yang gelagapan untuk sebuah panggilan menjadi kelucuan sendiri. Padahal mereka beda paling 6-7 tahun saja. "Panggil aja kak, aku nggak setua itu kok sampai harus dipanggil pak."
Rasanya Anin mau kabur aja kalau begini terus. Kenapa dia tidak bisa berpikir seperti biasa, sih? Biasanya dia tidak terlalu memedulikan banyak hal ketika bertemu dengan orang. Mungkin ini efek adanya tanggung jawab yang sedang dia pegang. "Maaf ya, kak Rafa. Kakak bisa mesen minum dulu."
"It's okay. Aku ke kasir dulu." Setelah Rafa berdiri pergi, barulah Anin bisa mengambil nafas sejenak.
Katakan saja gadis itu lebay. Anin memastikan detak jantung yang berdetak cepat saking groginya. Ia menarik nafas dalam-dalam. Perlahan dia bisa mulai rileks.
Di dekat mereka, sebenarnya sudah ada Jev yang barusan datang. Tentu saja Jev tidak menggunakan wujud manusianya agar kegiatan Anin tidak terganggu.
"Baru kali ini Anin bisa nunjukin groginya." Jev menggeleng. Tidak hanya lelaki itu yang berpikir seperti itu, Artha juga. Untuk pertama kalinya Anin tidak hanya menampilkan sikap tidak pedulinya.
Mungkin Jev harus membantu sedikit agar wawancaranya berlangsung dengan lancar?
Jev menyentuh pundak Anin selama 5 detik. Sebentar namun cukup membuat gadis itu merasa PD lagi untuk wawancaranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
With My Way (✓)
Подростковая литература"Ada tugas baru buat kamu. Tolong jagakan perempuan ini di kehidupan akhirnya." --- Melchiah Aitan, atau Jev sebagai nama manusia adalah seorang Penjaga Manusia dan ditugaskan untuk menjaga Anindira Pratista dan memastikan agar perempuan itu bahagia...
