Prolog

268 21 0
                                    

¢dshoonie

"Kenapa kau selalu turun?" dialognya dengan penuh amarah. "Kenapa kau selalu turun disaat aku seperti ini? Kumohon jangan bawa hal menakutkan bersamamu, kumohon..." air matanya terus menerus jatuh tak ada hentinya.

Tangannya tak lepas dari telinga. Dia benci suara itu, hanya suara itu yang paling menakutkan didunia baginya. Suasana dingin karena hujan lebat dan dipenuhi oleh gemaan petir yang begitu dahsyat seakan langit sedang marah padanya.

"Bunda, kumohon datang dan selamatkan aku" tangisnya pecah, kenapa dunia sangat marah kepadanya? Bukankah seharusnya mereka yang salah?

Ia menatap langit yang gelap, berjongkok ketakutan sambil memeluk kakinya dan terus mengusap agar kehangatan masuk kedalam tubuhnya.

Gadis itu melihat sekitar taman, tak ada satupun orang yang berlalu lalang disana. Semuanya gelap, hanya ada lampu-lampu besar di pinggir jalan.

Tidak tahu penyebab kenapa hatinya selalu memaksa untuk keluar dari bangunan besar yang sudah menjadi rumah keduanya itu disaat hujan sedang turun di kota Seoul. Padahal dia sangat benci hujan apalagi dilengkapi oleh petir, ia sangat takut dengan hal seperti itu.

Entah apa yang dipikirkannya sekarang, yang jelas hanya jantungnya yang sudah tak lagi kuat menahan karena berlari lari sejak tadi hingga kedinginan yang membuatnya lemas dan pucat.

Ingin sekali pergi dari kesepian itu dan kembali ke tempat asalnya tetapi tak ada kekuatan sedikitpun untuknya bangkit dari sana.

Ia teringat bagaimana tempat ini menjadi tempat dimana mereka menyimpan kenangan bersama, tempat dimana mereka berjanji untuk menjaga satu sama lain, dan tempat dimana mereka pertama kali saling melempar senyuman bahagia.

Gadis bersurai panjang sepunggung dengan warna dark choco itu masih mengulangi apa yang pertama kali ia lakukan. Memeluk kaki pendeknya sambil menggosok-gosok agar sedikit lebih hangat.

Ia sempat berfikir mengapa disaat ia kecil ia sangat menyukai hujan namun semakin tumbuh, semakin banyak perubahan yang dialaminya. Semakin lama, semakin banyak trauma yang dialaminya juga. Seperti hujan, ia tak menyukai hujan.

Lagipula, kenapa hoodie hitamnya sangat tak berguna? Bukankah ia memakai hoodie sebelum ia mengunjungi tempat ini? Kenapa kedinginan tetap setia berada di tubuhnya? Apakah ini memang pertanda bukan?

25 menit berlalu. Sudah hampir setengah jam ia berdiam diri disana. Hujan belum juga berhenti, musim hujan sudah melanda di kota Seoul. Bibirnya basah ulah hujan yang membasahi tubuhnya, semuanya terlihat pucat sehingga bisa dibilang gadis itu benar-benar sudah menjadi mayat.

Belum, dia seharusnya sudah mati kedinginan. Namun tuhan berkehendak lain, syukurlah kalau ia masih menyayangi ciptaannya yang sudah sekarat di bawah hujan deras juga suara petir yang sangat dahsyat ini.

Perasaanya campur aduk. Ada rasa kesenangan juga kesedihan. Memiliki masalah yang amat berat sehingga ia mengeluarkan air mata. Namun siapa sangka, dengan adanya hujan, ia bisa menangis tanpa orang lain tahu karena hujan yang membawa air matanya untuk jatuh bersama. Dengan kesedihan, masalah itu tak terhitung, semuanya tampak seperti pasir putih yang ada di sebuah pantai. Sangat banyak.

Ia rasa, ia harus cepat bertindak untuk menyerah daripada memaksa untuk hidup kembali, rasanya menyakitkan. Lagipula, tak ada satu orang pun yang menyayanginya didunia. Bahkan ayahnya lebih memilih orang lain daripada putri tunggalnya sendiri. Sangat menyakitkan bukan?

Hanya tuhan dan bunda yang menyayanginya, tidak ada yang mempunyai rasa belas kasihan padanya setitikpun. Begitu menyakitkan jika diingat-ingat, ia lebih memilih untuk tak berurusan dengan keluarganya daripada ia selalu tersakiti oleh kata kata busuk dari ibu tirinya dan anaknya yang tak tahu diri itu.

Namun tetap saja, mereka yang selalu memulai.

Kenapa mereka sangat tak tahu malu dengan apa yang telah mereka perbuat selama ini? Apakah urat malu kedua perempuan itu sudah putus? Mereka sangat kejam, ia rasa mereka lebih kejam daripada seorang pembunuh.

Kata-kata kasar yang selalu didengar oleh telinga membuatnya muak dengan ibu tirinya. Seharusnya mereka malu karena sudah melakukan banyak kesalahan besar pada keluarga ini. Mereka berdua hanya memanfaatkan harta kekayaan ayahnya dan selalu bersikap manis didepan saja.

Kalau ia tahu itu permasalahannya, ia dengan suka rela mencongkel mata ayahnya hingga buta agar semua yang ingin di lakukannya harus dibantu oleh dirinya. Dengan begitu, ayahnya tidak akan menikah lagi dengan perempuan tak tahu malu seperti itu.

Tapi tentu saja semua sudah terlambat. Hei, apa yang dipikirkannya saat itu? Dia masih terlalu kecil untuk melawan orangtua.

Bisakah semuanya berakhir?

Berakhir dengan banjir kesedihan? Seperti cerita yang terdapat di novel-novel dengan Sad Ending?


~ Huang Renjun ~
not u, but him
•----------------------------------•

Not u, but Him || HRJTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang