¢dshoonie
"Gue balik dulu ya, Kak Jeye udah nunggu dibawah tuh" ujar Xiyeon kepada kami yang masih sibuk merapikan buku kedalam tas sekolah. Park Jinyoung adalah kakak Xiyeon. Xiyeon lebih sering memanggilnya Jeye. Ia tampan, setia, dan perhatian pada Xiyeon. Itu membuatku iri.
"Iya, hati hati" ujar Somi, dan Xiyeon melambai pada kami lalu perlahan menghilang dari ambang pintu.
"Lo dijemput bokap lo gak?" tanya Yuju yang membuatku berubah menjadi lemas dan Somi yang mendengarnya langsung menyenggol pundak Yuju, "maaf, gue lupa hehe" Yuju mengerti, ia tahu semua latar belakang keluargaku. Mana mungkin ayahku yang super sibuk itu menjemputku ke sekolah. Yang selalu mengambil rapotku saja Tante Wendy, mama Renjun.
"Gak apa apa. Lagian lo bener kok, dia gak bakal jemput gue" ucapku tersenyum. Aku menggemblokan tas ke bahu. Merangkul Somi dan Yuju untuk cepat meninggalkan kelas yang sudah tidak ada siapa siapa lagi kecuali kami bertiga.
Aku tidak melihat Renjun sedari tadi di kelas. Terakhir kulihat ia sedang bersama Saeron di koridor. Saeron adalah bendahara kelas dan Renjun adalah sekretaris kelas. Wajar saja jika mereka pergi bersama. Mungkin hanya untuk urusan kelas.
Aku tidak tahu harus pulang bersama siapa. Somi pulang bersama kak Wonwoo, Jeon Wonwoo adalah kakaknya Somi. Xiyeon pulang bersama kak Jinyoung, dan tentu saja Yuju pulang bersama kakaknya juga yakni bernama Seungcheol. Kak Seungcheol lelaki tampan namun sifatnya tak jauh beda dari adik perempuan satu satunya itu. Tidak bisa diam, humoris, dan juga perhatian. Sangat lucu jika aku memperhatikan keduanya sedang bersama.
Bisa saja aku menelfon Renjun untuk mengantarku pulang karena tak sengaja aku melihatnya yang masih bersama Saeron sedang menuju perpustakaan. Mereka terlihat bahagia dan saling melempar tawa. Aku sedang tidak cemburu, aku memang bukan orang yang mudah cemburu. Kuurungkan niatku untuk memanggilnya. Aku mengikuti mereka dari jarak 10 meter. Mengikutinya sampai mereka masuk kedalam perpustakaan.
Sebenarnya tidak ada niatan sedikitpun untuk menguntit mereka berdua. Tapi gerak-gerik mereka sangat patut dicurigai. Akupun juga salah satu orang yang tak suka mencampuri urusan orang.
Ternyata benar dugaanku, mereka memang sedang berduaan untuk masalah kelas. Namun kenapa harus berdua? Dan kenapa harus ditempat yang sepi sunyi ini? Seharusnya aku tidak berprasangka buruk pada keduanya. Ah sial, Kim Saeron.
Ingin sekali keluar dari sini namun kakiku terasa ada yang mengganjal. Kakiku tidak bisa bergerak sama sekali. Apa ini suruhan telingaku untuk tetap diam di tempat dan menguping pembicaraan mereka dari kejauhan? Tidak, tidak bisa dibiarkan. Aku bukan tipe orang yang ingin tahu segala hal dengan berlebihan. Kurasa ini saja sudah cukup berlebihan.
Berhasil menggerakan kakiku kembali dan ingin segera lari kembali ke pintu utama, ada yang mengejutkanku. Nyaris saja aku terpergoki oleh kedua target yang sedang kuikuti tadi jika saja Lee Jeno tidak membungkam mulutku rapat-rapat. Kulepaskan tangannya dari mulutku saat aku sadar tengah tak bernafas karena ia terlalu menekan hidungku. "Oke, liat siapa yang datang? Lee Jeno, kekasih Park Xiyeon. Makasih udah nutup rapat-rapat setengah wajahku sehingga aku sulit bernafas!" sergahku kesal.
"Tolong ya ratu bucin, gak usah lebay!" ia berolling eyes. "Lagian lo ngapain sih ngindep-ngindep gitu kayak maling? Creepy gue liatnya tau gak! Untung gua yang liat, coba kalo yang lain" lanjutnya.
"Permisi, 'ngindep-ngindep' mas nya ngambil bahasa dari kamus mana?" sudahlah, aku tak punya kekuatan lagi untuk melawan Lee Jeno yang keras kepala itu. Mungkin Xiyeon lama-lama juga akan frustasi dengan kepala batu kekasihnya yang satu ini.
Haha, bercanda.
"Udah deh ya gak usah tengil, harusnya lo bersyukur karena gue dateng nolongin lo sekarang dari tu dua curut" sambari menunjuk Renjun juga Saeron yang sekarang masih belum berhenti untuk melempar tawa. "Lo cemburu ya kan"
Sedikit terkejut mendengarnya, "Hah, apaansi? Aku gak suka sama dia ya!" aku mengalihkan pandangan ke Renjun yang sedang berbicara sekaligus tertawa dengan Kim Saeron.
"Lo cemburu, lo gak bisa liat Renjun jalan sama cewe lain, apalagi ketawa-tawaan sampe seseru itu. Pasti lo pengen tau apa yang mereka obrolin" sial, Jeno memandangku dengan keseriusannya. Wajahnya begitu menakutkan sampai-sampai aku ingin pergi darinya dan tidak mau melihat wajahnya lagi.
Terlalu berlebihan.
Jeno masih memasang wajah seriusnya, memandangku lamat-lamat dan melipat tangan didepan dada, "Mungkin lo bakal nanya sama Renjun apa yang dia bicarain sama Saeron, tapi gue berani jamin kalau dia cuma alesan bilang hal sepele ke lo" Ia menghela nafas berat, "Lo khawatir, karena Renjun bakal jadi milik adik lo"
Sebentar, bolehkah aku bertepuk tangan sekeras-kerasnya untuk menyoraki sepupu laki-lakiku yang sedang berada didepanku ini? Kenapa dia bisa tahu kalau sebentar lagi Renjun akan menjadi milik adik tiriku? Oke, aku kagum. Apakah Jeno-ku sekarang menjadi tukang penguntit?
"Bagus Lee Jeno, aku curiga kamu tuh bener-bener orang yang paling gabut sedunia sampe-sampe nguntitin aku?" Kulihat ia memasang wajah tak suka dan berolling eyes lagi, "Bisa gak sih lo serius? Untuk kali ini aja, gak usah lebay. Gue begini karena pengen lindungin lo, gue gak suka kalau lo tuh disakitin, dibenci sekaligus. Gue bakal lawan orang itu, bahkan ayah lo sendiri" katanya. Syukurlah, wajahnya berubah-maksudku, tatapannya sedikit berubah. Tak seserius tadi.
"Maaf Jeno, tapi aku bukan orang yang menyedihkan. Aku bisa ngatasin masalahku sendiri tanpa dikasihani oleh siapapun. Sebelumnya, makasih kalo kamu udah ngelindungin aku, aku gak bisa bales kebaikan kamu" aku menghela frustasi. Benar kata Jeno, aku hanya khawatir. Sedikit. Dan jika boleh jujur, aku benar-benar tak mempunyai perasaan sedikitpun pada Renjun. Bisa dikatakan, aku hanya terobsesi padanya.
"Egois, gue gak suka liat lo sok kuat. Gue benci liatnya. Bisa gak sih lo ngeluh ke gue sekali aja? Bilang kalo lo cape sama semua ini ke gue, gue bakal bantu lo, jangan sendirian terus" Jeno mulai mendekat, memelukku. Rasanya hangat, ia mencium aroma shampo dari rambutku. Aku merasa bersalah, ternyata Jeno tidaklah segila itu, dia sangat peduli padaku. Pada orang lainpun.
Ia melepaskan pelukannya perlahan, mengambil alih pergelangan tanganku yang sedari tadi berada didalam kantung hoodie pink pastel yang ku kenakan. Menarik dan keluar dari perpustakaan setelah sebelumnya melirik kearah Renjun yang masih berada didalam ruang perpustakaan.
Jeno masih menarikku ke tempat parkiran, dari kejauhan 7 meter aku bisa melihat satu motor ninja berwarna merah terparkir rapih disana. Siapa lagi pemiliknya jika bukan Lee Jeno. "Pulang bareng gue, lo gak bakal nunggu Renjun buat nganter lo pulang kan?" ia memberikan helmnya yang satu lagi padaku. Aku hanya menurut, karena tidak mungkin juga aku akan menunggu Renjun selama itu.
Aku kesusahan saat mengunci helmnya. Jeno tahu kalau aku sedang kesusahan, ia tertawa gemas melihatku lalu membantu mengunci helmnya. "Lo cantik, Kang Melphie. pantes aja Renjun kesemsem sama lo"
~ Huang Renjun ~
not u, but him
•------------------------------------•
KAMU SEDANG MEMBACA
Not u, but Him || HRJ
Teen Fiction"Bukan kamu, tapi Dia" Aku selalu merasakan sesaknya beban hidup yang menghimpit takdirku. Selalu kalah dalam segala hal yang kutemui, aku ingin menang sekali saja. Kenapa dunia sangat bertindak tidak adil dan menguasai semuanya? ↓ Kehadiran Kang Me...