10. Relapse Again

36 11 1
                                    

¢dshoonie

"Hah bunda?" aku tercekat saat itu juga. Melihat perempuan yang sangat aku sayangi berdiri didepanku sambil tersenyum. Aku mematung. Ia menghampiriku, menyapaku dan memelukku tanpa berkata-kata.

Aku memeluknya balik dengan erat, sangat erat, seolah tak mau dipisahkan lagi. Aku tidak peduli dimana aku sekarang, yang terpenting adalah aku sudah bisa bertemu dengan ibuku lagi.

"Kamu apa kabar sayang? Bunda kangen banget sama Melphie" ia masih memelukku, mengusap-usap surai panjangku dengan pelan. "Kenapa kamu kesini? Lelahkah?" perempuan itu melepaskan pelukannya.

Menatapnya sedalam mungkin, berusaha menahan air mataku yang hendak jatuh. Aku menunduk, lantas menggeleng pelan, "Melphie gak lelah kok bun, aku baik-baik aja disana, kangen banget sama bunda juga."

Bunda tertawa lalu memegang kedua pundakku, "Bunda lihat semua yang kamu lakuin disana, semangat! Jangan pernah putus asa, kalau mereka pukul kamu, ya kamu pukul balik!" ia menyemangati, itu membuatku tak bisa untuk tidak tersenyum. "Bunda gak pernah ngajarin kamu buat takut sama orang, kalau dia berbuat salah sama kamu, ya kamu harus berani lawan dia!."

"Bun, aku itu anak bunda, dan pasti sifat bunda yang pemberani itu turun ke aku. Kalau bunda liat apa yang selama aku lakuin didunia, seharusnya bunda tau aku selalu ngelawan orang yang berbuat jahat sama aku" menghela nafas samar, aku tertawa kecil.

"Kamu turunan dari ayah" kata-katanya membuat aku terdiam, menatapnya tidak percaya. "Hanya berani didepan, tapi hancur dibelakang" aku masih mematung, tidak berkutik dan masih menunggu kalimat berikutnya yang akan dilontarkan bundaku.

"Huang Renjun, dia baik sama kamu"

"Bun?"

"Maaf sayang bunda harus pergi" ia menunduk, melepaskan genggaman tanganku, lalu berbalik.

"Bunda mau pergi kemana?" aku masih berusaha menggenggam tangan bundaku agar ia tak pergi kemanapun lagi.

"Bunda harus istirahat, semoga kamu selalu diberikan yang terbaik oleh Tuhan yang maha kuasa" ia tersenyum masam, berhasil melepaskan genggaman tangannya.

"Bunda, boleh aku larang bunda buat istirahat? Temenin aku, aku gak mau ditinggal bunda lagi!"

"Bunda gak bisa sayang, maafin bunda"

"Bunda, jangan pergi!"

"Bun!"

"BUNDA!!!"

"Melphie, kamu kenapa?!" panik Renjun ketika tunangannya itu tiba-tiba meneriaki nama sang ibunda. "Bunda kemana!?" tanyaku panik setengah mati, kumohon jangan bilang itu adalah mimpi.

"Sadar sayang, bunda udah gak ada!" teriak Renjun ketika risih melihatku yang meraung-raung seperti orang tak waras. Aku berhenti meneriaki, menoleh ke pria disampingku ini dengan tatapan horor. "Tadi ada bunda! Bunda ada didepan aku, dia bilang kangen sama aku!" aku meraung lagi.

Menjambak rambut frustasi setengah mati, kini rambutku sudah berantakan dan aku menangis. "Kamu mimpi bunda lagi ya? Tenang aja, bunda baik-baik aja kok disana" Renjun memelukku, mengusap rambutku pelan seperti apa yang dilakukan bunda Taeyeon sebelumnya.

"Bunda baik-baik aja disana, dia terlihat bahagia, sangat bahagia" aku bergagap seketika karena tak bisa mengatur nafasku ketika sedang menangis sesegukan seperti saat ini.

"Iya, jadi kamu harus tenang ya" aku mengangguk pelan ketika mendengar kalimat yang keluar dari mulut Renjun. Seperti yang dikatakan bunda Taeyeon beberapa menit yang lalu, Renjun benar-benar orang yang baik

Tapi seharusnya bunda mengerti kalau aku tidak bisa terus menguasai Renjun. aku harus melerakan Renjun demi adikku itu. Kalau tidak, korbannya pun aku.

Seharusnya juga bunda lebih tahu dari aku, kalau Renjun memang bukan takdirku.

"Tenang aja, ada aku disini" ia menepuk-nepuk pelan suraiku. Menyisirkan rambutku dengan jemarinya, memelukku dengan erat seperti apa yang telah aku lakukan pada bunda sebelumnya.

Aku masih menangis, tidak percaya kalau tadi hanyalah sebuah mimpi. Itu terlihat nyata, sangat nyata. Bahkan saat kami berpelukkan, itu sangat terasa ditubuhku.

Duduk diatas ranjang rumah sakit sembari menggigiti kuku gemetaran. Seharusnya aku tidak sampai seterkejut itu, karena mimpi seperti ini bukan hanya sekali dua kali aku mengalaminya. Beberapa kali, sehingga tidak dapat dihitung dengan jari.

Renjun melepaskan pelukannya, meraih segelas air putih yang ada di atas nakas. Menyuruhku untuk meminum agar lebih baikan. "Udah enakan?" tanyanya sambil mengusap punggungku, dan mengambil alih gelasnya yang sudah kuminum setengahnya.

Aku mengangguk pelan, "kenapa aku dirumah sakit?" tanyaku dengan wajah kebingungan.

"Kamu pingsan semalam," ia terlihat berfikir. "Setelah kamu mutusin pertunangan kita, di balkon" lantas menunduk. Air wajahnya terlihat samar, dan tertawa pelan saat aku masih mencerna omongannya.

Ia mengacak-acak rambutku gemas, "udah gak usah difikirin, nanti malah pusing ngingetnya" bisa dibilang itu adalah kode. Mungkin saja ia masih mau membahas perihal pertunangan lagi.

"Lagipula mau kamu suruh aku, sampai matipun aku gak bakal bisa hidup sama Seomi, gak akan ada yang bisa gantiin kamu dihati aku" ia menggeleng sambil tersenyum sehingga gingsulnya terlihat begitu jelas. "Sebenernya tadi Jeno cerita, perasaan kamu ke aku. Dan aku fikir lagi, kayaknya memang itu alasan kamu doang, buat jauhin aku" Renjun menatapku, wajah sendu yang masih memperlihatkan gingsulnya. Memiringkan kepalanya, ia tidak lagi tersenyum.

"Jun, aku-"

"Kenapa? Kamu mau bilang apa yang aku dengar dari Jeno itu bener? Kalau bener, cukup aku yang dengar dari Jeno, aku gak mau kamu ngulangin kata-kata Jeno ke aku, aku benci kata-kata yang ada difikiran kamu" potongnya dengan gesit.

"Huang Renjun-"

"Aku seneng kok bisa kenal sama kamu, bisa pacaran sama kamu, bahkan sampe bisa tunangan sama kamu. Dan aku merasa kalau aku laki-laki yang paling beruntung didunia karena bisa milikin kamu" tersenyum lagi untuk kesekian kalinya, ia menyolek ujung hidungku gemas.

Mataku membasah. Aku merasa bersalah padanya, dan juga keluarganya. Tapi itu tak mampu membuatku untuk menarik kata-kataku kembali. Namun jika Tuhan mempersatukan kami kembali, aku sangat bersyukur pada Tuhan sang maha adil.

"Renjun, b-bukan gitu maksud aku"

"Jangan nangis, aku gak suka liat kamu nangis gara-gara sedih, apalagi gara-gara aku" ujarnya sembari menghilangkan jejak air mata dipipiku. Itu malah membuatku tambah tak waras, aku malah menangis lebih kencang.

"Aku minta maaf, jun" aku memeluknya tanpa diperintah, menangis lagi dalam pelukannya, membasahi bajunya dengan air mataku.

Ia menangkup kedua pipiku, menyuruhku menatapnya. "Gak perlu kamu minta maaf, kamu gak salah, aku yang salah karena udah bikin kamu jadi begini" Renjun menarikku ke pelukannya. Mengusak rambutku lagi.

Dan kesekian kalinya, Renjun melepaskan pelukannya dan berbalik menuju pintu. "Kamu mau kemana?" aku bertanya padanya tetapi ia hanya menatapku dan tersenyum.

"Jangan sakit lagi, aku pulang, kamu ditemenin Jeno"



~ Huang Renjun ~
not u, but him
•-----------------------------•

Not u, but Him || HRJTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang