Dua puluh enam

422 54 1
                                    

Sakura bisa melakukan banyak hal dalam lima belas menit. Biasanya. Tapi usai membersihkan karpet, ia tidak bisa berkonsentrasi pada website-nya.
Alih-alih, ia menelepon kakaknya. Dengan sedikit keberuntungan, mungkin Naruto akan mengangkat sendiri teleponnya.
Ia menghela napas saat mendengar alat penerima pesan berbunyi.
"Naruto, Hinata, kalau kalian sudah bangun dan sedikit saja tertarik... aku sudah
pindah dari Konoha Towers."

Bukan hanya tubuhnya, Sakura menyadari, tapi juga jiwanya. Tadinya ia marah, tapi sekarang, well, ia siap mengakui bahwa tinggal di sana memang bakal menjadi kesalahan. Terlalu mudah untuk lari, bersembunyi,
dan mengobati lukanya. Sasuke benar: tidak semua Pria seperti Sasori.

Walaupun begitu, Sakura tidak akan membiarkan kakaknya bebas semudah
itu.

"Sementara ini aku tinggal di Jalan Hokage," ujarnya.
"Nomor 27. Kalian akan menerima tagihan untuk semua biaya kepindahanku dalam waktu dekat."

Lalu Sakura menambahkan, "Omong-omong, Boruto baik-baik saja."

Dan seolah-olah mendapatkan pikiran lain ia berkata, "Tapi kalau kalian sudah puas tidur, bisakah kalian segera menjemputnya? Aku punya kehidupan juga, kalian tahu. Dan kalau lain kali kalian perlu istirahat, bilang saja, hmm? Aku akan menyediakan waktu, aku janji."

***

"Kehidupan? Dia punya kehidupan?"

"Dia memang kedengaran berbeda."

"Dia kedengaran lebih seperti dirinya yang dulu."

"Sebelum Boruto?"

"Sebelum Sasori. Ya Tuhan, aku ingin sekali mencekik leher Pria itu. Tapi aku akan memuaskan diri dengan menciummu saja. Kau memang brilian, Hinata. Aku tahu betapa beratnya minggu ini untukmu."

"Ah, tidak seberat itu kok. Kita sudah lama tidak menghabiskan waktu sebanyak ini di tempat tidur semenjak bulan madu kita."

"Semua hal yang bagus harus berakhir."

"Benar, tapi, karena Boruto ada di tangan yang baik, kurasa kita bisa meninggalkannya dengan aman selama satu-dua jam lagi."

***

"Apa yang sedang kaulakukan?"

Sasuke menengadah.
"Menyuapi Boruto," sahutnya kalem.
"Dia lapar. Pasta dengan keju. Benar, kan?"

"Tapi-" Kemudian,
"Bagaimana kau bisa tahu?"

"Ada daftarnya di samping kotak. Entah kau ini sangat teratur atau punya ingatan yang buruk. Bagaimanapun juga, menurut daftar itu kalau hari Jumat Boruto harus makan pasta."

Sasuke menawarkan sesendok lagi pada Boruto. Bayi itu melahapnya. Tanpa meludah, tanpa macam-macam.

Sasuke lebih baik dalam hal ini daripada aku, pikir Sakura, benar-benar terkesan.

"Kalau begitu, aku, mm, akan membuat susunya."

"Sudah jadi kok," ujar Sasuke.
"Sedang didinginkan."

"Kau cukup ahli."

"Itu masih bisa diperdebatkan, tapi aku cukup mampu membaca beberapa instruksi sederhana. Jadi kau bisa berhenti berkeliaran seperti tawon yang gugup, duduk, dan ambil saja sandwich-nya."

Sasuke mengulurkan tangan
dan menuang segelas anggur untuk Sakura.

"Karena kita sedang piknik dalam rumah, aku pikir kita bisa memanfaatkan lemari es di dekat kita dan menghindari hukum yang melarang minum-minum di tempat umum."

"Benar," ujar Sakura, sedikit kehabisan napas. Ketika hampir bergabung dengan Sasuke di bangku kebun yang panjang, ia melihat shiro di bawah meja di kaki pemiliknya. Anjing itu berbaring di atas rumput, kepalanya direbahkan.

Bayi PinjamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang