Tujuh belas

432 57 1
                                    

SASUKE berdiri di bawah shower yang memancarkan air dingin dan bersumpah Sakura akan mendapat ganjaran karena menyiksanya seperti ini. Direndam dalam nut cutlet kalau perlu. Bukan berarti Sasuke lebih percaya pada cerita nut cutlet-untuk-satu-orang itu daripada alasan Sakura yang menggunakan semua air panas untuk mencuci baju bayinya.
Air sedingin ini hanya bisa terjadi gara-gara keran yang dibiarkan terbuka sampai semua air panasnya terkuras dan tangki.
Keterlaluan!

Baik, kalau Sakura menginginkan peperangan, dia akan mendapatkannya.
Wanita itu begitu yakin bisa menang mudah, pikir Sasuke, dengan kasar membalut tubuhnya dengan handuk supaya hangat lagi. Dia salah. Sasuke mungkin sudah jatuh sekali dan hampir kalah waktu ia terbangun dengan wanita itu dalam pelukannya tadi siang, tapi ia takkan menyerah semudah itu.

Ia akan berbagi hidangan minim apa pun yang dipilih Sakura untuk makan malam, senang karena tahu bahwa Sakura bakal ikut menderita.
Saat melewati ruang belajar, Sasuke melihat melalui pintu yang terbuka.

Sakura sedang duduk di depan komputernya. Tertarik melihat apa pekerjaan penyewanya, Sasuke masuk untuk menyelidiki. Tapi Sakura sedang tidak bekerja; dia sedang menyantap makan siangnya sambil browsing internet.

"Enak?" tanyanya saat Sakura menggigit sandwich-nya.

"Sedikit kering. Aku juga membuatkan satu untukmu. Ada di dapur."

"Terima  kasih. Apa yang kaucari?"

"Tempat tinggal."
Sakura mengklik mouse dan layar menjadi gelap.
"Aku melihat-lihat beberapa agen rumah."

"Kau sudah memutuskan mencari tempat lain?"
Sasuke berhasil menekan
perasaan leganya supaya tidak terdengar dalam suaranya. Ternyata gampang sekali.

"Tidak, aku sudah muak dengan para induk semang yang cerewet."
Sakura tersenyum sambil mengangkat Boruto dan berjalan menuju tangga.

Sasuke mengabaikan usaha Sakura yang terang terangan memanas-manasinya, ia malah memperhatikan kata para yang dipakai Sakura. Yang menimbulkan pertanyaan, kenapa Sakura pindah dengan sangat terburu-buru dari tempat sewanya sebelumnya? Surat perjanjian sewa yang ditandatangani wanita
itu masih tergeletak di meja depan dan Sasuke mengambilnya sambil mengikuti Sakura turun ke dapur.

"Aku memutuskan sudah saatnya menghadapi kenyataan dan membeli rumah sendiri. Kelihatannya aku hanya mampu membeli lemari sapu-"

"Membeli?" ulang Sasuke, teralihkan dari rentetan pikirannya.
"Tapi itu bakal butuh waktu berbulan-bulan."

"Benarkah?"
Sakura melirik surat perjanjian sewa yang dipegang Sasuke.

"Lebih dan tiga bulan?"

"Mungkin," sahut Sasuke, mengenali suara yang menantang itu.
"Kecuali kau bisa segera menemukan suatu tempat. Apa perjanjian sewamu bisa
diperpanjang?"

Sakura tersenyum lebar.

"Tidak. Ino sangat tegas mengenai hal itu. Sekarang aku tahu kenapa. Bisakah kau menunggu untuk makan
malammu? Aku harus menyuapi Boruto."

Kalau Sasuke lapar, dia mungkin akan pergi.

"Kurasa bisa. Menurutku sandwich itu bakal cukup mengganjal perutku."

"Bagus," ujar Sakura, menyesal mengapa tidak melemparkan sandwich itu pada burung padahal ia punya kesempatan untuk melakukannya. Ia pasti sudah gila karena menawari Pria itu sandwich. Impulsif. Kebiasaan yang sulit dihilangkan.

Sakura ternyata tidak perlu khawatir. Piring yang tadinya berisi sandwich sekarang pecah berantakan di lantai dapur. Tak ada tanda-tanda roti atau keju. Hanya shiro, berbaring telungkup di seberang anak tangga dengan ekspresi anjing yang tahu bahwa dia sudah sangat nakal. Sakura mendapati dirinya secara tak terduga ingin memeluk anjing itu.

Bayi PinjamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang