Hari ini tepat satu tahun Dimas kakak Fania pergi. Acara pembacaan yasin dan tahlil akan diadakan nanti sore. Fania yang sebelumnya menyuruh Faza untuk hadir keacara pembacaan yasin di rumahnya, menghubunginya kembali.
To: manusia frozen
[Gue waktu itu udah ngajak elo ikut acara pembacaan yasin di rumah gue. Dan gue harap nanti lo dateng.]
[Lo pingin banget yah gue dateng.😀]
[Gak usah ge-er deh, gue sih nggak peduli lo mau dateng atau nggak. Tapi nyokap gue tuh yang nyuruh buat bujuk lo agar dateng.]
[Oh rupanya camer toh yang nyuruh
Dateng. Oke gue ntar dateng.][Hidih gue nggak sudi banget punya calon suami kayak lo.]
[Jangan bilang gitu ntar lo nyesel loh.]
[udah deh nggak usah halu. Nggak penting banget gue ngurusin lo yang halunya tingkat dewa. Gue sibut.]
[Yaudah. Entar gue dateng.]
Suara getar ponsel itu tak dihiraukan lagi oleh Fania. Ngapain juga ia harus repot-repot berdebat dengan cowok frozen itu. Masih banyak hal yang harus ia selesaikan untuk acara nanti sore.
Mama Rein dan papa Herman sedang berbincang di ruang keluarga dengan serius.
"Pah, Mama minta Papah jangan maki-maki Faza ya, Mama yang nyuruh Fania buat ngundang Faza keacara ini," ujar Rein kepada suaminya.
"Papah masih sedih sebenarnya Mah, apalagi kalau mengingat organ Dimas ada ditubuh Faza, Papah belum bisa menerima sepenuhnya kalau anak kita rela ngorbanin nyawanya untuk Faza. "
"Semua sudah takdir Pah, ini bukan salah Faza dia tidak tahu apa-apa. Anggap saja jika Dimas masih ada dalam diri Faza yang sekarang. Mama harap Papah jangan pernah cerita soal ini kepada Fania ya Pah. Mama nggak mau Fania akan membenci Faza nantinya." Rein menenangkan Herman suaminya.
"Iya Mah, kamu benar. Papah akan berusaha menerimanya dengan baik. "
Saat Rein dan Herman sedang serius membicarakannya, Fania yang berjalan dari arah dapur mengagetkan keduanya. Sepatah dua patah kata yang sempat diperbincangkan keduanya terdengar oleh Fania. Tak heran jika tiba-tiba Nia bertanya hal itu.
"Menerimanya dengan baik? apa Pah?" ujarnya penasaran.
Herman kikuk mendengar pernyataan anaknya barusan. Bagaimana kalau Fania mendengar semuanya. Fania belum saatnya mendengar cerita itu.
"Bukan apa-apa sayang. Papa sama Mamah hanya membicarakan soal acara nanti sore. Mama bilang katanya harus selalu tersenyum dengan tamu, menerima tamu itu harus dengan baik gitu," elak Herman yang berbohong kepada Fania.
"Oh gitu kirain apaan." Fania berlalu dan pergi ke kamarnya.
***
Sore hari
Faza bener-bener datang ke rumah Fania. Ia kembali merasakan suasana seperti waktu itu, dimana masa lalu yang terus membuatnya merasa bersalah.
Pembacaan yasin dan tahlil dimulai, semua orang yang hadir sangat khusuk membaca ayat-ayat al-qur'an itu. Demikian pula dengan Faza yang khusuk membacanya.
Faza duduk menjauh dari keluarga Fania. Ia menyadari meski keluarga Nia sudah mengikhlaskan semua ini, tetap saja hati kecil Faza masih merasa bersalah. Terlebih saat ini Fania belum mengetahuinya.
"Faza lo di sini juga?"
Suara itu memecahkan lamunan Faza seusainya pembacaan yasin. Faza menoleh ke sumber suara dan mendapati seorang yang sudah cukup lama tak ia temui.
KAMU SEDANG MEMBACA
FazaFania (SELESAI)
Fiksi Remaja"Gue itu suka lo dari dulu Fan, tapi gue gak pernah berani ngungkapin itu semua. Gue tau gue terlalu naif,gue juga bukan cowok yang jantan. Tapi asal lo tau semua gue lakukan agar lo tetep bahagia. Gue bakal mengutarakan ini semua setelah lo sadar a...