09 | Hilang Satu

6.2K 889 24
                                    

Pukul 4 pagi biasanya adalah saat di mana orang-orang sudah mulai beranjak mempersiapkan diri untuk beraktifitas. Pada pukul tersebut lebih banyak para ibu yang sudah sibuk berkutat dengan berbagai macam alat dapur. Tapi tidak sedikit pula para ayah yang sudah mempersiapkan diri untuk berangkat kerja dan jangan lupakan para anak yang memiliki jadwal masuk sekolah pukul 6 pagi.

Namun hari ini di waktu yang sama suasana terasa sangat berbeda. Orang-orang yang biasanya menghabiskan waktu di dalam rumah, sekarang sedang berkumpul di depan sebuah rumah. Isak tangis terdengar begitu jelas. Bukan lagi isak tangis sedih yang terdengar, melainkan sebuah isak tangis parau yang menandakan jika orang tersebut sudah cukup lama menghabiskan airmatanya.

"Maafin ibu ya, Na." Zanna hanya diam. Menatap nanar pemandangan yang cukup mengejutkan penduduk sekitar sambil berusaha menenangkan Bu Eni.

Tiga jam yang lalu, atau lebih tepatnya sekitar pukul 1 dini hari sebuah kebakaran hebat menggemparkan warga RT 12 RW 07. Sebuah pemandangan yang cukup mengerikan. Si Jago Merah yang melahap sambil menari-nari menelan semua peralatan yang ada di warung bu Eni.

Zanna masih diam. Masih terpaku menatap runtuhan dan sisa bangunan yang ada. Dulu, warung ini adalah satu-satunya tempat bergantung hidup setiap harinya. Dari sini lah Zanna bisa membayar uang kuliahnya, menyisihkan beberapa rupiah untuk keperluan sehari-harinya, bahkan ia juga bisa membeli sebuah kalung emas untuk masa depannya. Maka dari itu musibah ini bukan hanya mengejutkan bagi pemiliknya saja, tapi juga mengejutkan bagi Zanna.

Zanna berdiri dan berpindah menuju tempat yang lebih damai. Memilih untuk menjauh dari pemandangan yang jika dilihat semakin lama semakin membuat kepalanya pusing. Matahari pun sudah mulai terlihat bergegas untuk melaksanakan tugasnya. Tanda jika sebentar lagi ia harus bersiap untuk kelas pagi.

Saat menuju perjalanan ke rumah, Zanna sempat terpikirkan untuk tidak masuk kuliah. Mengingat dirinya yang sejak malam belum tidur dan kemudian ads musibah menimpanya. Sudah badan lelah, pikiran pun ikut lelah. Berbaring sejenak sepertinya terdengar lebih baik.

Kring kring

Zanna meraba meja tamunya. Dengan mata yang masih tertutup rapat ia hanya menggerakkan tangan kanannya untuk meraih ponsel. Ketika ponsel sudah ia pegang, dengan sekuat tenaga Zanna membuka mata dan melihat siapa yang memanggilnya.

"Di mana lo?"

"Hmm?"

"Ditanya jawab. Di mana lo sekarang?"

"Rumah."

"Gak masuk?"

"Gak. Badan gue sakit."

"Ck!" Dari kejauhan Zanna bisa mendengar si penelpon mendengus kesal. "Mau dibawain apa?"

"Gak usah. Nanti gue masak sendiri aja."

"Tapi kanㅡ"

Tut tut tut

Sambungan telpon diputuskan secara sepihak oleh Zanna. Saat ini dirinya sedang dalam keadaan yang cukup marut memikirkan akan bekerja di mana dirinya dan bagaimana ia bisa mendapatkan uang makan untuk beberapa hari ke depan.

Saat sedang kalut seperti ini Zanna tiba-tiba bangkit dari perbaringannya. Beranjak menuju lemari yang ternyata di sisi kirinya terdapat celah dengan dinding rumahnya. Tangannya meraih sebuah kotak kecil yang terbuat dari anyaman rotan berwarna coklat muda yang memudar. Wajahnya seketika berubah sedikit lebih baik dan tenang. Ia buka perlahan tutup kotak itu dan dikeluarkannya sebuah kaleng kecil berwarna merah muda.

"Dengan berat hati kamu harus aku pake. Maaf ya," ucapnya lirih pada kaleng tersebut.

Tidak lama ia buka tutup kaleng itu dan keluarlah beberapa lembar uang. Sambil menatap nanar dan berat hati Zanna masukkan beberapa lembar uang itu ke dalam dompet pribadinya.

Zanna termasuk salah satu anak yang cukup selektif dalam menggunakan uang.  Bahkan dirinya memiliki banyak dompet untuk membagi-bagi keperluannya; dompet sehari-hari, dompet bulanan, dompet tabungan tidak terduga, dan sebagainya. Dengan adanya itu semua, setidaknya Zanna memiliki dana cadangan jika hal-hal yang tidak terduga terjadi.

Seperti sekarang, di saat tertimpa musibah Zanna memutuskan untuk tidak berlama-lama larut dalam kesedihan karena tidak memiliki pekerjaan. Dan tidak mungkin juga ia hanya bergantung hidup pada uang tabungannya untuk sehari-hari.

Sekarang ia tengah berada di sebuah pinggir jalan besar. Dirinya memakai pakaian formal dan menenteng sebuah map berwarna cokelat dan sesekali tangannya menyeka keringat yang mengalir di pelipisnya karena cuaca sangat panas. Zanna sempat tergoda untuk membasahi tenggorokannya dengan es kelapa hijau yang ada di seberang jalan.

"Gak, Zan. Harus hemat! Inget!" gumannya.

Tin tin

Sebuah mobil sedan berwarna perak berhenti tidak jauh dari tempat ia berdiri. Awalnya Zanna tidak acuh pada mobil itu karena wajar saja bagi seseorang untuk berhenti di pinggir jalan jika sedang dalam keadaan darurat.

"Zanna?"

Zanna menoleh. Alisnya saling bertautan. Di bawah teriknya sinar matahari, penglihatan Zanna sedikit berkurang akibat silaunya cahaya dari arah berlawanan. Sehingga sulit bagi Zanna melihat wajah orang yang memanggilnya.

"Hey!" panggil suara itu lagi.

Zanna tersenyum bahagia. "Kak Irene! Kok bisa ada di sini?"

"Haha, iya nih. Tadi aku ke rumah kamu, tapi kamunya gak ada. Terus gak sengaja ketemu sama uda yang tempat kamu kerja, dia bilang rumah makan abis kena musibah, ya?"

"Iya, Kak. Semalem warung makannya kebakar. Jadi aku gak bisa kerja di sana lagi."

Irene melihat penampilan Zanna. "Sekarang mau ke mana?"

"Mau cari kerja nih, Kak."

"Ke?"

"Belum tau sih, hehe. Paling ya ke lembaga kursus aja yang waktunya fleksibel juga biar bisa disesuain sama jam kampus."

"Ikut aku dulu, yuk?"

"Ke mana, Kak?"

"Udah, ayo! Ikut dulu pokoknya." Irene menarik tangan Zanna dan membawanya ke mobil yang ia kendarai.









.
.
.
.

To be continued

Dear Mr. John | Johnny Suh ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang