LIMA

2.3K 356 37
                                    

Aurora mempercepat langkah kaki menuju rumah. Gerbang perumahan sudah dikunci satpam. Mobil yang mengantarnya hanya bisa berhenti di depan.

Gawat, ponselnya mati karena dia sama sekali tidak sempat mencharge. Dia tidak tahu sekarang jam berapa. Sepertinya sudah lewat jam sepuluh malam. Karena Bang Yos satpam komplek, biasanya sudah memasang gembok portal di atas jam sembilan.

Setengah berlari Aurora mengejar jarak rumahnya yang tinggal beberapa blok lagi. Dari seberang jalan, tampak beberapa orang Bapak mengenakan kain sarung berjalan ke arahnya. Gadis itu hendak mendahului namun suara seseorang memanggilnya.

"Rara..."

Ya Tuhan, Aurora membalikkan badan.

Ayah....

"Kamu dari mana saja? Ini sudah lewat jam sembilan malam, Ayah sudah selesai mengisi pengajian di Masjid, tapi kamu baru pulang."

Ayah menjajari langkah Aurora dan memandangnya marah. Terkadang gadis itu berpikir, benar tidak dia putri kandung Ayah. Lelaki enampuluhtahun itu terlihat begitu keras mendidiknya, sejak dia kecil. Padahal baru sekali ini dia pulang malam.

Aurora hanya dapat menunduk tatkala dia "disidang" di ruang tamu. Bunda terlihat mengelus punggung Ayah untuk menenangkan.

"Ayah benar-benar kecewa sama kamu, Ra. Kamu pulang terlambat tapi tidak memberi kabar. Ayah selama ini mengajari kamu supaya memiliki tingkah laku yang baik."

"Maaf Yah, Hp aku mati..."

Ayah menatap Rara tajam, tatkala aku memberi alasan. Jiwa kecil gadis itu mencoba memberontak.

"Ayah... Sebenarnya aku ini anak Ayah bukan sih? Setiap aku berbuat sedikit kesalahan, Ayah selalu marah besar sama aku."

Perkataan Rara semakin membuat wajah Ayah memerah. Rara tahu mungkin pertanyaannya keterlaluan. Tidak seharusnya dia meragukan kedua orangtuanya.

"Bun... Sepertinya sudah saatnya kita beritahu Rara yang sebenarnya."

Raut wajah Bunda berubah pucat dan tidak lama beliau menitikkan air mata.

"Jangan Yah..."

Ayah terdiam dan kemudian tanpa persetujuan Bunda, lelaki yang dihormatinya itu, membuat Aurora terkejut. Ayah mengatakan kalau Ibu kandung Rara bernama Almeera. Dia ternyata adik kandung Ayah. Ibunya bertaruh nyawa beberapa jam setelah melahirkannya ke dunia, karena mengalami perdarahan hebat dan tidak tertolong.

Kaki Aurora seolah melayang dan tidak berpijak di bumi. Benarkah selama ini Ayah dan Bunda yang membesarkannya, hanyalah orangtua sambung. Hal yang membuat Aurora lebih terpukul, Ibu kandungnya tidak pernah menikah. Ibu ditinggal oleh kekasihnya setelah hamil di luar nikah. Ayah tidak pernah berusaha mencari siapa kekasih Ibu, karena lebih fokus pada kondisi Ibu yang sakit-sakitan selama hamil.

Aurora masuk ke dalam kamar. Dia hanya bisa menangis. Gadis itu lalu mengambil baju-baju yang masih tergantung di dalam lemari. Semua dia masukkan ke dalam koper. Langkah kaki Bunda terdengar mendekati kamar. Bunda juga sama sedih dan terluka, terlebih lagi melihat Rara mengosongkan isi lemari pakaian.

"Ra... Kamu mau pergi kemana, Nak? Disini rumah kamu. Kamu adalah putri Bunda."

Bunda memeluk Aurora dari belakang.

Berdua mereka larut dalam isak tangis perpisahan dan gadis itu perlahan melepas pelukan Bunda yang akan dirindukannya.

"Di hari Rara lahir, Ayah sangat sedih kehilangan adik yang disayanginya. Di sisi lain, melihat matamu yang begitu bulat dan berkilau dan rambutmu yang hitam pekat, membuat Bunda bahagia. Ayah dan Bunda sudah lebih dari sepuluh tahun menanti seorang anak, tapi Allah belum memberikan juga. Kamu seperti hadir sebagai jawaban do'a Bunda.

AuroraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang