*Aurora home*
Bunyi dentingan sendok yang digunakan Bunda untuk mengaduk secangkir teh manis, berhenti seketika itu juga. Bersamaan dengan Aurora yang baru datang dari pintu belakang dapur.
Gadis itu baru selesai jalan pagi mengelilingi Gedung Olahraga perumahan Griya Sakinah. Sejak mulai kuliah, dia memang hobi jogging sambil mendengarkan dzikir Al-Ma'tsurat melalui earphone yang dihubungkan ke ponsel.
"Assalaamu'alaikum Bun..."
Air wajah Bunda tampak berubah sedih melihat Aurora.
Dari dapur, terdengar suara Ayah sedang menerima tamu. Rumah mereka memang tidak besar. Sehingga jarak antara ruang tamu dengan dapur seolah tanpa sekat.
"Ayah ada tamu. Rara bisa bantu keluarkan minuman?"
"Bisa Bun. Bunda kenapa sih?"
Tiba-tiba Bunda menitikkan air mata.
"Haikal, tamu Ayah. Ia datang membawa ini."
Bunda menunjuk pada sebuah undangan berwarna ungu dengan pita di tengah.
Aurora membuka undangan itu. "Turut mengundang Bapak/Ibu dalam acara pernikahan putra-putri kami:
Haikal Hamdani, SAg, MAg
Putra Bapak Muhammad Zulkarnain dan Ibu Maryam.Dengan
Haura Khairani, SE
Putri Bapak Syahid Yusuf dan Ibu Larasati."Aurora mencuci tangan. Dia mengambil tissue di dapur dan menghapus air mata di wajah Bunda.
"Ayah... Ingin menjodohkan kalian berdua. Rara dan Haikal. Haikal anak yang baik. Dia sudah menunggu sejak kamu kelas 1 SMA. Tapi kamu bahkan sama sekali nggak mau menemui dia. Sekarang dia datang membawa kabar kalau mau menikah dengan teman pengajiannya."
"Maafin Rara ya Bun. Rara memang ingin konsentrasi kuliah dulu. Berarti Allah menunjukkan bahwa jodohnya Bang Haikal bukan Rara. Tapi perempuan sholihah yang lebih baik dari Rara."
Bunda masih belum bisa menyembunyikan kekecewaan di wajahnya. Aurora pernah beberapa kali bertemu Haikal saat lelaki itu main ke rumah. Dulu, waktu dia masih kelas 2 SMA. Ayah dan Bunda memang sangat sayang pada lelaki itu. Tingkah lakunya yang santun, pintar mengaji dan hampir setiap main ke rumah, Bang Haikal selalu menjadi Imam sholat. Tapi Rara tidak memiliki perasaan apapun pada lelaki itu.
Aurora membawa nampan berisi dua cangkir teh hangat beserta dua toples kue kering, ke ruang tamu.
"Assaalaaamu'alaikum Rara..."
Lelaki itu lebih dulu menegurnya. Aurora tersenyum tipis. Dia kemudian menjawab salam dan mengucapkan selamat atas rencana pernikahan Haikal.
Setelah itu Ayah seperti memberi isyarat agar dia segera menyingkir. Haikal baru pulang setelah sholat Zhuhur berjama'ah bersama Ayah di Masjid. Sampai di rumah, Ayah memanggil Aurora dan gadis itu duduk di ruang tamu seperti seorang terdakwa.
"Ayah kecewa sama kamu Ra."
Deg... Wajah Aurora berubah menjadi panas.
"Kamu tahu kan sejak dulu Ayah ingin Haikal menjadi menantu Ayah dan Bunda. Ia anak yang sholeh. Ia juga berasal dari keluarga yang taat beragama. Dua tahun lalu saat kamu diterima kuliah di luar kota, dia pernah mengatakan akan menjajaki hubungan dengan kamu. Tapi setiap dia mengirim pesan atau mencoba telepon, Rara tidak pernah membalas."
Hati Aurora bergejolak. Ingin rasanya dia mengungkapkan alasan kenapa dia menolak Haikal. Saat itu dia hanya berpikir ingin kuliah dengan baik tanpa memikirkan masalah laki-laki. Terlebih itu menyangkut masalah percintaan. Konsenstrasi kuliahnya akan buyar karena jadwal praktikum di semester awal, sangat padat merayap.
"Ayah dan Bunda tidak pernah meminta Rara untuk jadi dokter. Permintaan Ayah sederhana. Pada akhirnya, setinggi apapun pendidikan kamu, kamu tetap akan menjadi seorang Ibu yang menjadi madrasah untuk anak-anak kamu dan menjadi seorang istri shalihah yang mendampingi suami. Kini kamu malah melepaskan seorang lelaki sholeh hanya untuk cita-cita kamu."
Aurora terdiam. Hatinya menjerit ingin menangis. Tapi dia menahan perasaan itu. Tidak pernah sekalipun dalam hidupnya, dia mengalami hal seperti ini. Hanya karena Ayah menyayangi Haikal dan menginginkannya menjadi menantu, Ayah mengutarakan kekecewaannya sampai seperti ini.
Ingin rasanya dia membantah, tapi dia takut Ayah bertambah marah dan malah mengeluarkan kata-kata yang tidak baik. Bukankah perkataan orangtua bisa menjadi do'a untuk anaknya.
"Maafin Rara, Yah."
Gadis itu beringsut mendekati Ayah dan memeluknya. Di luar dugaan, Ayah perlahan melonggarkan pelukannya. Ayah memilih untuk pergi dan mengambil kopiah.
"Ayah mau siap-siap mengisi pengajian di rumah Pak RT."
Bunda hanya memandang dari jauh, suara Ayah yang terdengar berpamitan dari pintu depan.
"Maafin Ayah, Ra. Ayah hanya perlu waktu untuk bisa menerima kenyataan, karena sejak menjadi murid Ayah di Madrasah Aliyah, Haikal sudah menjadi murid kesayangan."
"Bun, tapi perempuan kan juga punya hak untuk menolak. Rara belum siap menikah Bun. Rara masih ingin kuliah."
Bunda berjalan mendekat dan duduk di samping Aurora.
"Ya Ra... Bunda tahu. Tapi menolak seorang laki-laki yang baik akhlak dan agamanya, akan menimbulkan fitnah dan kerusakan di muka bumi."
"Memangnya Bang Haikal pernah melamar Rara?"
Bunda mengangguk lemah.
"Dua tahun lalu, tepat saat kelulusan Rara SMA. Haikal pernah ke Semarang dan menghubungi handphone kamu berkali-kali. Tapi tidak pernah kamu angkat. Mungkin ia sudah lelah menunggu kamu selama ini Ra."
Gadis itu menggigit bibir, perih. Sepertinya dia juga harus pergi untuk menjernihkan pikirannya.
Suara pesan masuk ke ponsel di saku yang dikenakan Rara, menyadarkannya dari lamunan mengenai Bang Haikal dan wajah kecewa Ayah.
"From: Kak Alvaro.
Ra, jangan lupa jam 1 siang ini di Resto Taman Yasmin. Atas nama Ibu Prayoga Bagastama. Kamu dandan yang cantik ya Ra. Trims."Dahi Aurora berkernyit. Dandan yang cantik? Memangnya ada acara apa. Kak Varo hanya mengatakan dia datang untuk menggantikan Adiva. Karena mereka sekeluarga sedang liburan ke Bandung. Aurora sudah hafal, Adiva jarang mengaktifkan ponsel bila ada event family time. Itu bagian dari peraturan di keluarganya.
"Bun, siang ini Rara pergi dulu ya. Pamitin sama Ayah. Takutnya Ayah nanyain. Rara mandi dulu."
Bunda mengiyakan dan kembali sibuk di dapur untuk menyiapkan makan siang.
Selesai membersihkan diri, Aurora berbaring di kamar. Rumah seharusnya tempat yang membuat hatinya bahagia dan lebih ringan. Tapi kenapa sejak kejadian tadi pagi, hatinya jadi sempit. Ingin rasanya melarikan diri dan memilih menginap di luar, beberapa hari ke depan. Ia jadi tertekan.
Benarkah Ayah dan Bunda tidak bahagia dengan pilihan hidupnya untuk mandiri dan kuliah di luar kota. Apakah Ayah benar-benar kecewa akan keputusannya. Padahal dia sudah membawa kabar baik mengenai nilai di kuliahnya yang banyak mendapat nilai B. Karena temannya yang lain banyak yang meraih nilai C atau D. Sehingga mereka harus rela tidak mengambil liburan semester, hanya untuk memperbaiki nilai.
Aurora memeluk guling dan menatap ke arah kaca kecil di samping tempat tidurnya.
Dear Allah... Please heal me... Heal my soul... My heart's getting hurt inside.
Perlahan Rara menghapus air matanya. Akhirnya dia memilih untuk mengambil wudhu untuk sholat Zhuhur dan melanjutkan dengan membaca beberapa lembar ayat suci. Setelah itu dia bersiap pergi memenuhi permintaan Kak Alvaro.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Aurora
RomanceAurora itu nama tokoh Sleeping beauty yang cantik dan mudah tertipu nenek sihir jahat hingga jarinya tertusuk jarum. Aurora yang ini beda, dia nggak sesempurna Sleeping Beauty, beda banget malahan. Meski sama-sama polos, Aurora belum pernah jatuh ci...