LIMA BELAS

2.2K 336 23
                                    

Sepatu kets biru muda sudah tidak tampak di rak belakang. Pemiliknya sudah sejak Shubuh tadi, mengambil dan meletakkannya di depan pintu teras rumah. Dia juga menyiapkan roti bakar dan sebotol air mineral untuk olahraga pagi yang ditaruh di sling bag.

"Ra... Beneran mau jalan pagi ke GOR? Semalam kamu masih demam, Sayang."

Bunda memandang khawatir ke arah Rara yang sedang merapikan tali sepatu.

"Rara sudah sehat kok. Ayah dimana ya, Bun? Rara mau pamit pergi."

Gadis itu mencium pipi Bunda. Diam-diam Bunda merasa bersalah. Semalam Bunda menghapus semua pesan baru, yang masuk ke HP Rara.

"Ayah masih di mushola. Mungkin lagi ngobrol sama pengurus DKM. Persiapan bulan puasa."

"Pamitin sama Ayah ya, Bun. Rara pergi dulu. Assalaamu'alaikum."

Gadis itu keluar pagar dan berjalan santai sambil memasang earphone yang terhubung dengan ponselnya. Mendengarkan murottal juz 30 dari Syaikh Mishary Rashid Al-afasy, membuat hatinya tenang. Dia sekalian mengingat kembali hafalan surat pendeknya.

Selepas sholat Maghrib, ketika Rara masih usia SD, Ayah sering mengajak ke Mushola untuk ikut belajar baca Qur'an dan juga menghafal sedikit demi sedikit. Rara berjalan menapaki jalan pintas perkampungan antara perumahannya menuju GOR. Dari jalan kampung itu, akhirnya dia sampai ke jalan besar. Lumayan jadi lebih cepat sampai.

Sesekali dia tersenyum dan menyapa ramah tukang sayur yang lewat ataupun penyapu jalan. Sudah lama sekali rasanya jiwanya lepas seperti sekarang. Apakah mungkin dia memang mengalami depresi akhir-akhir ini.

Sekalipun kedua sahabatnya Alya dan Adiva selalu memberikannya semangat, tapi ternyata keinginan untuk bisa move on itu, memang harus muncul dari diri sendiri. Sejak tadi pagi dia terbangun dalam pelukan Bunda, Rara sudah berjanji dalam hati. Dia akan membahagiakan dirinya dan juga orang-orang yang dia sayangi.

Rara berpapasan dengan beberapa Bapak yang membonceng anaknya ke sekolah. Hari apa ya ini... Ooh.. Hari Sabtu.. Pantas masih banyak pelajar usia SD yang memakai baju Pramuka. Rajin sekali mereka mengikuti ekskul di hari Sabtu. Dulu Rara ikut dokter kecil, awalnya karena ingin punya seragam warna putih-putih.

Sebuah motor tiba-tiba berhenti di tepi jalan. Hanya berjarak beberapa meter di depannya. Mogokkah? Dua orang anak kecil yang membonceng di belakang, turun dan salah satunya menangis kencang. Rara terpanggil untuk mendekat. Dia ingat, dulu motor Ayah juga suka mogok ketika mengantarnya sekolah.

"Mbak, maaf ini ban motor saya kempes. Mungkin kena paku. Sebentar saya cari tambal ban dulu. Boleh titip anak-anak saya?"

Rara melepas earphone di telinganya. Duh... Kalau mau jujur, dia minim pengalaman berinteraksi dengan anak kecil. Apalagi dua bocah balita di depannya ini melihatnya seperti orang asing. Tapi apa boleh buat, dia juga kasihan melihat Bapak itu mulai mendorong motor.

Dari radius tigaratus meter di depan, sepertinya ada tanda-tanda tempat tambal ban. Benar dugaan Rara, si kecil mulai menangis memanggil nama Ayahnya. De ja vu... Rara seperti melihat bayangan dirinya sendiri saat kecil. Sewaktu kelas tiga SD, pernah beberapa temannya mengatakan dia anak pungut. Mungkin karena usia Ayah Bunda terlihat tua dengan putri seusia dirinya. Dia sering menangis di sudut kelas, memanggil nama Ayah dan Bundanya.

Sejak itu dia seperti tertantang membungkam teman-temannya yang jahat, dengan selalu masuk peringkat 3 besar di kelas. Di pikirannya yang polos saat itu, tidak pernah terlintas kalau dia memang bukan anak kandung Ayah Bunda. Tiba-tiba saja Rara teringat wajah itu...

Dokter Renald. Mengapa wajah mereka berdua mirip. Meski awalnya Rara syok sampai semalam tidak enak badan, tapi Rara berusaha menepis wajah dokter Renald. Tidak mungkin dia memiliki hubungan dengan dokter yang mengoperasi Bang Haikal.

AuroraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang