TUJUH

2.2K 347 8
                                    

Kamar perawatan nomer 712 tampak sepi. Hanya suara detik jarum jam dinding yang memecah sepi. Reyga memberi isyarat agar Rara mengikuti langkah kakinya masuk perlahan.

Rara menurut dan tidak lupa mengusap kedua telapak tangannya dengan hands rub, sebelum menutup pintu. Kebiasaan baik yang sudah sering dilakukannya karena kampusnya tepat bersebelahan dengan rumah sakit pendidikan.

Sesekali Rara menahan rasa nyeri di perutnya yang hilang timbul. Hari-hari awal menstruasi dia berusaha bersahabat dengan sakit yang kerap mendera.

"Mam... Ini Rara datang..."

Reyga si lelaki arogan di depannya ternyata bisa terlihat penyayang. Terbukti lelaki itu berbisik seraya mencium kening Maminya dengan lembut.

Aurora terlihat gugup, terlebih saat melihat kedua kelopak mata Tante Rianti membuka.

"Rara... Sini Nak... Kamu sudah makan? Tadi kenapa pergi nggak pamit dulu..."

Rara menatap Reyga meminta penjelasan. Bukankah tadi dia sudah menitipkan pesan ke laki-laki ini kalau dia pamit pulang.

"Maaf Tante... Tadi Rara pulang duluan karena takut kemalaman sampai rumah..."

"Kamu tuh Ra, kayak sama siapa aja. Panggil Mami, Ra. Terimakasih ya, Rara sempatin nengok. Mami kayaknya kecapekan karena pergi seharian. Tadi Mami pingsan karena tensi tinggi..."

Reyga yang berdiri tepat di seberangnya, membentuk tanda "V" di jari tangannya. Jadi, Mami pingsan tuh bukan karena Rara pergi tanpa pamit, tapi karena sakit... Kedua mata gadis itu menatap Reyga kesal tapi emosinya memudar ketika jemari Mami membelai lembut kepala Rara. Gadis itu tersenyum dan membalas dengan memijat kedua kaki Tante Rianti.

Matanya berkaca-kaca karena mengingat Bunda di rumah. Sudah jam sebelas malam. Apakah Bunda bisa tidur atau memikirkan nasibnya malam ini ia akan tinggal dimana. Ayah... Aurora juga menyesal telah pergi tanpa sempat minta maaf.

Tidak lama Mami mulai memejamkan mata dan tertidur pulas. Mungkin nyaman karena pijatan Rara karena Bunda juga sering memuji ketika dipijat olehnya. Diam-diam Reyga memperhatikan pemandangan langka di depannya. Gadis galak ini ternyata memiliki hati yang baik. Dia dan Reyna hampir tidak pernah memijat Mami karena Mami tidak pernah meminta.

Ponsel gadis itu bergetar beberapa kali. Perlahan Aurora beranjak pergi dan memilih membuka pesan di ponselnya di luar kamar. Dia tidak ingin mengganggu istirahat Maminya Kak Reyga.

"10 kali panggilan tak terjawab...

5 kali Bunda...

3 kali Alya...

2 kali... Bryan?

Aurora membuka pesan Bunda.

"Rara... Ayah mabit di Masjid. Kamu pulang ke rumah kan, Nak... Bunda kangen..."

Aurora menggigit bibir. Dia menahan butir bening yang mulai membasahi iris matanya. Dia masih takut bertemu Ayah... Maafin Rara, Bun.

Alya menelepon.... Sebelum berangkat tadi, Rara memang sempat mengirim pesan ke Alya.

"Halo Assalaamu'alaikum Ra, kamu sekarang dimana? Tadi Bunda kamu telepon nanyain kamu." terdengar suara Alya khawatir.

"Aku... Lagi di luar. HPku tadi disilent. Al, aku boleh menginap malam ini di rumah kamu?"

"Iya Ra, boleh banget. Kamu dimana? Kirimin alamatnya ya. Ini aku sama Papa mau jemput."

Aurora menarik napas lega. Dia masih memiliki sahabat yang baik, menganggap dirinya sebagai bagian keluarga mereka. Bahkan Alya tidak menanyakan alasannya pergi dari rumah. Padahal sudah dua tahun ini mereka jarang bertemu karena dia kuliah di beda kota.

Sesaat setelah Alya menutup telepon, datang pesan berikutnya dari Bryan. Ya Allah... Kenapa lagi si Bryan.

Dia hampir melupakan kehadiran si mahasiswa pertukaran pelajar asal Meksiko ini. Dia dan Bryan sejak awal kuliah, sering satu kelompok praktikum. Hanya karena Rara satu-satunya perempuan berhijab di kelompoknya, Bryan sering mendekati untuk bertanya ini dan itu seputar hijab dan agama yang dianutnya. Bryan cerewet dan hobi berdiskusi, padahal setahu Rara, lelaki bule itu tidak menganut agama apapun.

Bryan sempat cuti kuliah beberapa bulan karena menjenguk orangtuanya yang sakit. Mengapa tiba-tiba lelaki ini menghubunginya. Semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk terhadap orangtua Bryan.

"Hola Rara. Buenas noches. cómo estás. It's me, Bryan. I'm back to Indonesia. I want to visite you in Jakarta... Saya mungkin sampai stasiun Jakarta jam 4 pagi..."

Tampak Bryan mengirim foto di layar ponsel dengan latar belakang tempat duduk di gerbong kereta makan. Lelaki itu tampak akrab duduk di sebelah kondektur, prama dan prami kereta. Dua tahun tinggal di pulau Jawa, Bryan cukup fasih berbahasa Indonesia, bahkan bisa sedikit bahasa Jawa.

Kepalanya mendadak sakit, begitu tahu Bryan sedang menuju Jakarta. Kenapa temannya itu nggak jalan-jalan ke Bali aja. Setidaknya liburan kali ini Rara bisa lebih tenang dan nggak akan jadi tour guide turis asing.

***

A little Footnote:
*Spanish and English*
Hola= hai,
Buenas noches= night
cómo estás = How are you

AuroraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang