DELAPAN

2.2K 348 8
                                    

Jemari Aurora membuka pintu perlahan. Alya sebentar lagi datang menjemputnya. Gadis itu memilih duduk di sebelah tempat tidur Tante Rianti. Dia berusaha mengabaikan sosok lelaki yang duduk di seberangnya dan meminum secangkir kopi.

"Kak... nanti aku pamit pulang ya."

Dengan susah payah Rara memanggil Reyga dengan sebutan "Kakak" namun wajah gadis itu tidak bisa menyembunyikan ketidaksukaannya.

Reyga berdiri membelakangi gadis itu, berusaha menahan rasa senang karena Rara bersedia memanggilnya Kakak. Ia memandang jendela besar yang memperlihatkan gemerlap Ibu kota dan jalanan yang masih padat merayap meskipun sudah hampir lewat tengah malam.

Lelaki itu memberi isyarat agar Aurora mendekat karena khawatir pembicaraan mereka akan membuat Mami terjaga.

"Kenapa Kak?"

Aurora berjalan dengan wajah malas. Reyga mengeluarkan sebuah kartu pipih berwarna gold.

"Untuk jaga-jaga, kalau malam ini kamu nggak dapat tempat menginap. Apartemen White Orchid Park kamar 805."

Aurora menggeleng.

"Terimakasih Kak. Aku malam ini menginap di rumah teman. Aku lagi nunggu dijemput."

Alis Reyga terangkat. Matanya menyipit. Teman?

"Teman kamu perempuan atau laki-laki?"

"Kelihatannya apa Kak?"

Aurora tertawa kecil sambil menutup bibir dengan lengan bajunya.

"Ooh baguslah kalau ada yang bersedia menampung kamu malam ini. Kelihatannya nggak ada juga yang berminat culik kamu. Nggak ada nilai jualnya... "

Reyga kembali menghirup kopinya yang masih mengepul. Aurora menatap lelaki itu dengan perasaan kesal. Lelaki ini sepertinya sengaja membuat suasana hatinya kacau.

Tanpa dia duga, Reyga berjalan mendekat dan membuka telapak tangan Rara. Lelaki itu memaksanya menerima kartu gold apartemen miliknya.

"Anggap ini ucapan terimakasih karena kamu mau datang menengok Mami malam ini. Kamu bisa pakai ini kapan kamu mau.

Hmm... Satu lagi Ra, saya tidak bermaksud ikut campur urusan kamu. Saya tidak mau tahu ada masalah apa dengan keluarga kamu. Tapi kalau itu terkait dengan orangtua, cepatlah diselesaikan. Hidup lebih berarti selama kita berusaha membahagiakan mereka."

Kata-kata lelaki itu seperti angin yang bertiup pelan, menggerakkan ranting pohon yang rapuh. Dan hatinya ternyata memang serapuh itu. Aurora membalikkan badan karena tidak mau lelaki itu menyaksikannya menangis. Dia memang merasa bersalah karena belum sempat meminta maaf ke Ayah.

"Aku pulang dulu Kak... Terimakasih nasihatnya."

Aurora sama sekali tidak menengok ke belakang. Dia menutup pintu perlahan. Bahunya berguncang.

Kamu tidak pernah tahu Kak... Tidak ada seorang pun yang tahu betapa kini hatinya retak berkeping-keping. Ketika orangtua yang membesarkan kita selama ini, mengatakan yang seharusnya. Kejujuran itu sering menyakitkan dan Rara mengalami sendiri.

Ketika kehadiranmu sejak di dalam kandungan, tidak diinginkan oleh siapa pun. Bahkan laki-laki yang seharusnya kamu panggil Ayah, tidak mengakui Ibumu sebagai istri dan meninggalkannya pergi. Mereka tidak pernah terikat dalam ikatan suci pernikahan dan kamu adalah kesalahan terbesar yang dilahirkan ke dunia.

Aurora turun dari lift dan memandang ke arah lobi. Titik hujan terdengar bergemuruh di luar. Alya belum sampai tetapi dia memilih menunggu di luar. Dia merapatkan jaket yang dikenakannya dan berlari menuju halte di depan rumahsakit.

AuroraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang