TIGA BELAS

2.1K 332 26
                                    

*Anyer Cottage*

Bryan masih menikmati surfing di ombak yang menggulung tinggi. Ini hari ketiganya berada disini.

Semalam ia sempat berbincang dengan Om Ronald, sebelum akhirnya teman Daddynya itu pulang ke Jakarta. Om Ronald ternyata tidak mengenal nama Aurora atau Rara. Tapi mengapa wajah keduanya begitu mirip.

Bryan mengambil papan seluncurnya dan beristirahat di tepi pantai di bawah kursi lounger dengan payung biru muda. Awan mulai berubah kelabu. Hawa panas berganti dengan angin yang mulai bertiup kencang.

"Hai Bryan..."

Lelaki itu memincingkan mata. Oh My God, kenapa perempuan ini tidak ikut pulang bersama Papanya. Bahkan sekarang Vannya berdiri di dekatnya hanya dengan memakai baju renang two pieces.

Bryan mengambil handuk dan meminta gadis itu menutup badannya.

"Why Bryan? Aku pikir kamu sudah biasa melihat perempuan memakai baju renang."

"Vani... Kamu... Well, bisakah kamu menutupi badanmu, properly? Saya memilih belajar di Indonesia karena penduduknya santun, ramah dan perempuannya yang saya tahu, juga berpakaian sopan."

Wajah Vannya berubah merah padam.

"Kamu aneh Bry. Aku nggak pernah ketemu cowok bule sekuno kamu. Apa jangan-jangan kamu gay?"

"Hell No, I'm normal. Saya akui, kamu cantik, you have a beautiful body shape, tapi kamu tidak perlu menunjukkan ke semua orang, right?
Kata teman aku, Rara. Perempuan muslim itu istimewa, maka dia harus menjaga kecantikan hanya untuk suaminya."

Bryan tiba-tiba teringat Rara.

"Are you now talking about my faith, Bry? But you're not a muslim."

"That's why I respect your faith, your religion."

"Kamu orangnya nggak asyik, Bry."

Vannya pergi dan menanggalkan handuk yang diberikan oleh Bryan. Dia dengan percaya diri menuju tengah pantai untuk berenang.

Awan kelabu semakin menggumpal. Cuaca yang semula terang berubah menjadi gelap. Tidak lama hujan turun dan Bryan sudah lebih dulu berlari ke penginapan. Meninggalkan Vannya yang menatap marah pada langit, karena menggagalkan rencananya untuk berenang.

"Halo cantik..."

Suara siulan dan mata beberapa pria yang menatapnya dengan lapar, membuat hati kecil Vannya merasa jijik sekaligus takut. Matanya mencari sosok Bryan di kursi pantai namun lelaki itu sudah tidak ada.

***

*Jakarta*

Titik hujan membasahi jendela kamar perawatan nomer 712, membentuk embun. Tanpa sadar jemari Reyga menulis empat huruf disana. R-a-r-a.

"Kak.. Kata Bibik, adek lagi nggak enak badan?"

Reyga membalikkan badan sambil merapikan pakaian Mami. Hari ini dokter sudah memperbolehkan Mami pulang. Dia berusaha meyakinkan kalau kondisi Reyna baik-baik saja.

"Kayaknya Adek kena flu aja kok, Ma. Rey sudah minta Adek istirahat di rumah."

"Syukurlah kalau bukan sakit yang serius. Dari kemarin Mami kangen sebenarnya. Ternyata Adek sakit. Apa kecapekan mungkin ya, mengurus rencana pernikahan dengan Zidan. Mami sudah bilang pakai WO aja, tapi adek tetap mau urus sendiri."

Reyga menutup resleting koper kecil milik Mami. Bagaimana kalau Mami tahu kenyataan yang sebenarnya. Ah, sudahlah, akan ada waktu yang tepat nanti untuk menjelaskan semuanya.

AuroraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang